GUDEG PAWON - YOGYAKARTA : Bernostalgia Menikmati Gudeg Di Dapur




Sesuai namanya, gudeg yang satu ini memiliki tempat bersantap yang unik, yaitu dapur yang dalam bahasa Jawa berarti pawon. Pada umumnya, orang merasa risih ketika bertamu dan bersantap di dapur tuan rumah karena dianggap kurang sopan. Namun, di Gudeg Pawon ini justru sebaliknya. Para tamu alias pembeli yang datang tidak masuk melalui pintu depan atau ruang tamu, melainkan langsung ke samping dan masuk ke dapur yang terletak di belakang rumah Wanto, di Jalan Janturan 36-38 Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta. Rumah sederhana yang memanjang ke belakang itu terletak di ujung gang kecil, sehingga pembeli bisa masuk lewat samping. Di depan pintu dapur, beberapa meja panjang dan bangku ditata di sebelah kanan dan kiri. Di sinilah para pembeli bisa menyantap gudeg yang telah mereka pesan sebelumnya di pawon sambil bercengkerama santai ditemani bintang-bintang di langit.



Pilihan lainnya, bila ingin merasakan sensasi menyantap gudeg yang dimasak Wanto ini, anda bisa menyantapnya langsung di dapur. Ada meja makan dengan beberapa kursi yang menempel di tembok dan bangku kayu tua di seberangnya yang bisa dijadikan tempat makan, mengingatkan pada dapur rumah-rumah tua. Para tamu justru lebih senang bersantap di dapur, karena bisa mengingatkan pada masa kecil. Tamu yang datang ada dari kalangan pejabat, mantan menteri, dan lainnya. Di dapur itu pula, Wanto dibantu adik, kakak, dan istrinya memasak gudeg dan melayani para pembeli malam harinya. Wanto sendiri belajar memasak dari almarhumah ibunya, Prapto Widarso. Semasa hidupnya, Prapto berjualan gudes sejak 1958. Kala itu, ia berjualan di Pasar Sentul setiap pagi. Wanto sendiri mulai membantu ibunya tahun 1995. Mulai 2000, Prapto berjualan di rumah. Setelah ibunya meninggal pada 2010, Wanto meneruskan usaha Gudeg Pawon.



Dulu, Gudeg Pawon mulai buka pukul 03.00, tapi lama kelamaan jam buka maju satu jam jadi pukul 02.00, dan begitu seterusnya hingga akhirnya sekarang buka pukul 21.30. Para pembelinya, termasuk pejabat, bupati, mantan menteri, dan artis tak komplain meski harus bersantap di pawon. Gudeg yang gurih dan basah karena berkuah menjadi keistimewaan Gudeg Pawon sejak pertama kali Prapto berjualan. Gudeg dan lauk pauknya dimasak sejak pagi hingga pukul 15.00. Setelah beristirahat, Wanto dan keluarganya menanak nasi pukul 20.00. Pukul 21.30, Gudeg Pawon mulai buka sampai habis. Tak jarang, tak sampai dua jam gudegnya sudah tidak tersisa dan membuat pembeli kecele. Wanto mengaku tiap berjualan ia melihat situasi. Bila sedang sepi, ia kurangi porsinya. Bila sedang ramai misalnya musim liburan, ia tambah. Jadi, setiap malam gudeg dan lauknya selalu habis.



Bila sedang sepi, Wanto menghabiskan 15 kg beras per malam. Namun, saat ramai jumlahnya bisa meningkat dua kalinya. Untuk lauk, ayah tiga anak ini menyediakan telur, ayam, dan ati ampela. Nasi gudeg dengan lauk ayam kampung harganya Rp 22.000, nasi gudeg telur Rp 10.000, sedangkan nasi gudeg dengan ati ampela atau paha Rp 16.000. Para pembelinya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka umumnya tahu dari internet, meski Wanto mengaku tidak pernah memasang iklan. Meski laris, Wanto tak mau ngoyo. Ia enggan menerima pesanan untuk acara tertentu karena merasa repot mengerjakannya. Selain itu, sesuai amanat ibunya, ia tak mau membuka cabang, meski tawaran banyak berdatangan, termasuk tawaran untuk membuka cabang di Jakarta atau kota lainnya. Bahkan pernah juga ada pembeli yang berniat membeli nama Pawon dengan ditawar seharga Rp 100 juta. Tapi Wanto tidak menerimanya. Karena Wanto masih memegang amanat ibunya yakni, berdagang cari untung secukupnya saja.

GUDEG PAWON

Jl. Janturan No. 36, Warungboto, Umbulharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta 55164, Indonesia
Phone:+62 274 7002020


AYAM GORENG MBAH CEMPLUNG - YOGYAKARTA : Ayam Goreng Dengan Rasa Khas Gurih Asin




Disebut Mbah Cemplung karena penjualnya memang seorang simbah (nenek) yang berasal dari kampung Cemplung dekat pabrik Madukismo di daerah Bantul, Yogyakarta. Mbah Cemplung sendiri sebenarnya bernama Rejowinangun. Menurut Dayat, yang kini mengelola warung ayam goreng Mbah Cemplung, alkisah Mbah Cemplung tak memiliki keluarga dan tempat tinggal. Ia akhirnya ikut menumpang tinggal di pekarangan milik orang tuanya di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul. Mbah Cemplung yang kemudian dianggap sebagai keluarga sendiri itu, lalu berjualan ayam kampung goreng di pekarangan rumah orangtua Dayat, yang kebetulan letaknya dekat sendang atau mata air yang sering dijadikan wisata ziarah. Awalnya, tahun 1980-an itu Mbah Cemplung berjualan ayam, minuman, dan makanan lainnya di warung yang sederhana. Dalam sehari, Mbah Cemplung hanya memotong 3-5 ekor ayam, yang dilakukannya sendiri sebelum dimasak.

Rasa ayam goreng Mbah Cemplung yang dianggap cocok di lidah para pembelinya segera menyebar dari mulut ke mulut. Makin lama, makin banyak pembeli yang datang berkunjung. Gubuk Mbah Cemplung pun tak lagi muat, sehingga pada awal tahun 2000 warungnya pindah ke tempat saat ini yang lebih luas. Sayang, tahun 2005 Mbah Cemplung meninggal. Usaha ini lalu diteruskan Dayat bersama ayahnya, yang sebelumnya memang sudah membantu Mbah Cemplung berjualan. Uniknya, pasca gempa tahun 2006, ayam goreng Mbah Cemplung justru semakin laris. Ceritanya, saat itu ayam goreng dalam jumlah banyak sudah disiapkan untuk dijual. Sayang, hari itu terjadi gempa besar sehingga pembeli tak ada yang datang. Akhirnya, ayam goreng itu dibagikan pada para pengungsi korban gempa di daerah itu. Sejak itu, ayam goreng berukuran besar ini makin dikenal dari mulut ke mulut. Bahkan, kini di seberang pekarangan yang dijadikan tempat parkir pembeli, juga didirikan warung lagi untuk menampung pembeli yang membludak, terutama saat liburan.


Ciri khas ayam goreng Mbah Cemplung, menggunakan ayam kampung liar yang beratnya lebih dari 1 kg tapi tak sampai 2,5 kg. Itu sebabnya, ayam terlihat besar, tapi dagingnya masih tetap empuk ketika digoreng. Bila kebanyakan masakan Yogyakarta bercita rasa manis, ayam goreng Mbah Cemplung rasanya gurih asin. Waktu disajikan disediakan pula dua sambal sekaligus, yaitu sambal matang dan sambal mentah yang juga merupakan peninggalan Mbah Cemplung. Cara memasaknya cukup unik. Ayam dipotong, lalu direbus bersama bumbu dan ditiriskan semalaman. Bumbu itu diracik sendiri oleh ibunda Dayat. Kemudian saat subuh esoknya, ayam kembali direbus dan siap untuk digoreng. Cara ini dilakukan agar rasa bumbu meresap ke dalam ayam. Tiap hari, warung buka sejak pukul 08.00-17.00 dengan menyediakan ayam potongan, kepala, maupun ingkung. Menariknya, kepala ayam dijual sekaligus memanjang sampai ekor. Harga masing-masing tergantung besar kecilnya ayam.

Ingkung berkisar Rp 100.000-Rp 170.000, dada Rp 25.000-Rp 35.000, paha Rp 20.000-Rp 35.000, kepala Rp 17.000-Rp 30.000. Kini dalam sehari warung yang memiliki 20 pegawai ini bisa menghabiskan 100 ekor ayam. Kalau masa liburan jumlahnya bisa mencapai 350 ekor per hari. Agar bisa mendapat stok, Dayat pun memberdayakan petani ayam kampung liar. Biasanya mereka menjual ayamnya ke warung Mbah Cemplung karena ada kebutuhan uang, misalnya arisan, anak sekolah, dan lainnya. Dayat pun kini tak perlu cemas soal bahan baku karena ia memiliki banyak pemasok. Pembeli ayam goreng Mbah Cemplung tak hanya berasal dari Indonesia, melainkan juga turis mancanegara yang kebetulan berkunjung ke Kasongan. Malum, lokasi warung Mbah Cemplung memang sangat dekat dengan Kasongan. Tiap kali ke Yogyakarta, para turis mancanegara itu selalu minta makan di warung Mbah Cemplung setiap siang selama tinggal di Yogyakarta. Pelanggan dari mancanegara itu ada yang dari Singapura, Kolombia, dan Australia.


Warung Mbah Cemplung pun makin terkenal, ketika ada seorang pemuda Yogyakarta yang berinisiatif menuliskan wisata kuliner tentang daerahnya di internet, termasuk di antaranya Mbah Cemplung. Kini, untuk mendekatkan diri dengan pelanggan, ayam goreng Mbah Cemplung telah membuka cabang di jalan lingkar selatan Madukismo, yang dikelola adik Dayat. Menurut anak sulung dari tiga bersaudara ini, banyak sebetulnya yang meminta Mbah Cemplung membuka cabang di luar kota, tapi orangtuanya belum membolehkan.

Ayam Goreng Mbah Cemplung
Address: Kasihan, Bantul Regency, Special Region of Yogyakarta, Indonesia

WARUNG BAKMI JAWA MBAH MO - YOGYAKARTA : Ramai Didatangi Meskipun Terletak Di Pelosok Desa




Untuk menuju ke tempat ini, arahkan kendaraan anda ke Bantul menuju Desa Code, Bantul. Tempat makan ini sangat sederhana dengan dinding, meja dan bangku panjang dari kayu. Di dinding terpajang spanduk yang menampilkan foto Mbah Mo yang telah meninggal pada 2001 silam. Meski sederhana, warung Mbah Mo nyaris tak pernah sepi begitu dibuka sore hari, terutama sesaat setelah Maghrib. Pembeli bermobil silih berganti datang memenuhi warung untuk mencicipi kelezatan bakmi goreng atau bakmi godog (rebus) khas Mbah Mo. Setelah memesan, anda bisa langsung duduk atau menonton pesanan anda dimasak dengan arang di atas tungku.

Menurut Mujiah, anak sulung Mbah Mo yang kini meneruskan usaha warung ini,  sebelum membuka warung bakmi, ayahnya lama bekerja di penggilingan padi. Setelah tak lagi bekerja di sana, Mbah Mo memilih bertani. Namun, usianya yang makin bertambah tak memungkinkannya terus bertani. Kebetulan, ibunya punya kakak yang membuka warung Bakmi Jawa Pak Rebo di Pojok Beteng Wetan. Pak Rebo lalu menyarankan ayahnya berjualan bakmi. Awalnya sang ayah sempat ragu. Karena tinggal di kampung sepi, dia tidak yakin akan ada yang membeli. Tapi suami Mujiah berusaha meyakinkan, hingga akhirnya ayahnya setuju. Tahun 1986, dengan modal Rp 30.000, satu anglo, wajan, dan susuknya pemberian Pak Rebo, Mbah Mo memulai warungnya di rumah. Sebelumnya, ia sudah belajar memasak bakmi Jawa beberapa lama pada Pak Rebo. Hari-hari pertama membuka warungnya, memang tidak ada pembeli yang datang. Kebetulan, suami Mujiah bekerja di BKKBN sebagai supir Kakanwil. Suaminya lalu merekomendasikan bakmi Mbah Mo ke orang-orang di kantornya, tanpa memberi tahu mereka bahwa warung itu milik mertuanya.



Akhirnya satu per satu orang mengenal bakmi Mbah Mo, lalu makin banyak yang tahu lewat getok tular. Sampai suatu hari, di BKKBN DIY diadakan acara tingkat nasional yang dihadiri para menteri. Acara itu jadi kesempatan suami Mujiah untuk mempromosikan bakmi Mbah Mo, dengan mengajak para tamu dari Jakarta ke warung Mbah Mo. Walaupun tempatnya gelap dan jauh di pelosok, para tamu ternyata menyukai gurihnya bakmi Mbah Mo. Saat datang ke Yogya lagi, mereka kerap minta diantar ke warung Mbah Mo. Saat itu, Ibu Inten Suweno yang menjabat sebagai Menteri Sosial mengatakan, bakmi Mbah Mo akan ia pasarkan ke Jakarta, termasuk di kalangan menteri. Entah Inten menunaikan janjinya atau tidak, menurut Mujiah setelah itu bakmi Mbah Mo ramai dikunjungi wisatawan dari Jakarta. Tahun 1990, pelanggan bakmi Mbah Mo membludak memenuhi warung setiap hari, bahkan hingga kini.

Para pembeli rela menunggu lama karena bakmi harus dimasak per porsi. Ini untuk menjaga kualitas agar rasanya tetap stabil. Oleh karena itu, bakmi Mbah Mo juga kerap disebut bakmi sabar. Mujiah kini juga telah membuka warung bakmi sendiri dengan nama Bakmi Dua Jaman di Jalan Parangtritis yang dikelola anaknya. Sementara ia sendiri setiap malam ikut memasak bakmi pesanan di warung Mbah Mo. Ia tak merasa kesulitan memasak bakmi meneruskan ayahnya yang sudah meninggal. Sebab, sejak kecil ia sudah biasa melihat dan membantu Pak Rebo memasak bakmi. Ciri khas bakmi Mbah Mo, terletak pada rasanya yang gurih karena menggunakan telur bebek dan ayam kampung, serta dimasak tanpa kecap, tomat, dan merica. Telurnya pun tidak dikocok lebih dulu, Anda bisa mencoba bakmi godog alias rebus, bakmi goreng, atau bakmi nyemek yang berkuah sedikit, dengan pilihan biasa atau istimewa. Seporsi bakmi biasa harganya Rp 16.000, sedangkan yang istimewa karena ditambahi daging ayam, paha, sayap, kepala, atau ati ampela Rp 23.000.



Saat ramai, bakmi Mbah Mo yang didatangi pembeli dari berbagai penjuru Yogya dan wisatawan bisa menghabiskan 250-300 porsi tiap malam. Jumlah ini akan meningkat berkali lipat saat hari libur panjang. Sementara, pada malam Selasa biasanya relatif sepi. Tak hanya melayani pembeli di rumah, bakmi Mbah Mo juga sering mendapat pesanan dari berbagai kota Jakarta, Bandung, Surabaya, termasuk untuk menu makan pelatihan dari berbagai instansi pemerintah seperti Mahkamah Agung, hajatan, dan sebagainya. Minimal pemesanan satu paket 200 porsi. Bahkan, pernah sampai melayani 1.100 porsi. Setiap melayani pesanan luar kota, Mujiah selalu membawa anglo dan bakmi dari rumahnya.

Warung yang berdiri tak jauh dari sungai ini, bukanlah warung ampiran, melainkan warung tujuan. Kalau warung ampiran, umumnya terletak di pinggir jalan, jadi pengunjung yang datang saat kebetulan lewat atau mampir. Sementara warung Mbah Mo, didatangi karena memang menjadi tujuan. Untuk sampai di sana, anda harus menggunakan kendaraan sendiri atau ojek, karena tidak ada angkutan umum yang sampai ke sana. Apalagi, warung Mbah Mo yang buka setiap hari ini hanya melayani dari pukul 17.00-23.00. Layaknya jalan desa di pelosok, jalan yang belum beraspal di depan warung Mbah Mo tak terlalu lebar. Namun, jangan khawatir soal parkir karena tanah lapang di seberang warung bisa menampung mobil dan motor para pembeli.


Bakmi Jawa Mbah MO
Address: Bantul, Code, Indonesia
Phone:+62 274 418676

WEDANGAN PENDHOPO - SOLO : Usaha Melestarikan Kuliner Leluhur




Pasangan suami istri, Ustiani dan Totok, punya mimpi bisa melestarikan kuliner leluhur. Caranya, mereka mendirikan Wedangan Pendhopo sejak 2011 lalu. Selain ingin agar warisan kuliner tidak hilang, Ustiani, yang juga seorang PNS ini, ingin wedangan dan kuliner warisan leluhur naik kelas. Niat Ustiani 100% didukung sang suami. Keduanya pun berbagi tugas. Ustiani yang mengurus menu dan jasa, sedangkan sang suami membantu merancang arsitektur dan interior. Ibu satu anak ini bercerita, sebenarnya semuanya serba kebetulan. Ia hanya ingin memanfaatkan rumah yang telah dibelinya bersama suami, tapi tidak ditempati. Rasanya, sayang kalau rumah tersebut tidak dimanfaatkan. Awalnya, mereka sempat pesimis karena lokasinya tidak berada di pinggir jalan. Apakah kalau nanti mereka membuat tempat kuliner ada yang datang ?

Ternyata sambutan yang didapat luar biasa. Semuanya benar-benar di luar perkiraan mereka. Arsitektur yang digarap sendiri oleh Totok pun juga serba kebetulan. Sejak lama Totok suka mengumpulkan barang antik, salah satunya limasan yang sudah ada beberapa buah. Jadi ketika membangun tempat ini, nuansanya pun dipenuhi dengan barang-barang antik. Meskipun ini berdasarkan selera pribadi, tapi mereka bersyukur ternyata banyak pengunjung yang menyukainya. Malah, tempat mereka ini sering dijadikan lokasi untuk foto prawedding.



Soal menu yang ditawarkan Wedangan Pendhopo hampir sama dengan menu di wedangan lainnya. Mereka menyajikan hidangan ala kampung, semuanya makanan tradisional dan benar-benar buatan rumah. Kemudian mereka tambahkan beberapa menu spesial yang lain. Menu spesial yang merupakan kuliner leluhur, salah satunya Sekul Sayur Ndeso yang sekarang sudah jarang ditemui. Bahkan yang memasak menu ini adalah si mbah yang dulu menjaga Ustiani sejak kecil, umurnya sudah sekitar 80 tahun, jadi jelas otentik sekali rasanya. Menu ini menjadi sangat spesial buat banyak orang yang mungkin sudah tidak lagi bisa menemukan dan merasakan nikmatnya Sekul Sayur Ndeso, sekaligus juga memperkenalkannya kepada generasi muda agar tidak hilang.

Agar pengunjung tak bosan, Ustiani juga menyuguhkan menu sayur lain seperti sayur asem, garang asem, lodeh, dan pilihan lainnya. Untuk harga, ia tidak mematok harga mahal. Semua makanan dan minuman ditawarkan dengan harga murah atau terjangkau. Ada menu yang hanya seharga Rp 1000, dan untuk Sekul Sayur Ndeso harganya Rp 5000 karena memang menjadi signature Wedangan Pendhopo.



Suasana dan atmosfer priyayi Jawa memang sangat kental terasa saat kita menginjakkan kaki di Wedangan Pendhopo. Alunan langgam Jawa yang terdengar semakin menambah atmosfer Jawa klasik. Gebyok yang didesain apik menambah keotentikan kafe ini. Hebatnya, Wedangan Pendhopo ternyata juga digemari kaum mahasiswa dan pelajar. Memang tempat kuliner ini bisa masuk semua umur, dari yang masih sekolah sampai yang sudah sepuh. Padahal, Ustiani dan suami tidak pernah beriklan atau menggunakan promosi lewat media. Mereka termasuk yang konvensional, hanya gethok tular, atau dari mulut ke mulut.

Tak heran, dengan suasana yang nyaman, pengunjung pun terus berdatangan. Salah satu tamu istimewa yang pernah datang ke tempat ini adalah Ibu Iriana Jokowi yang sering bersantai di Wedangan Pendhopo bersama teman-temannya saat pulang ke Solo. Presiden Jokowi pun juga kerap datang bersama rombongan menteri atau tamu negara. Meski tempat ini bisa menampung hingga 100 orang, tapi bagi pasangan Ustiani dan Totok tetap tidak menyangka kalau orang nomor satu di negara ini berkenan datang ke tempat mereka. Bahkan saat berulang tahun, Ibu Iriana pernah merayakannya di sini.

Wedang Pendhopo sering disebut sebagai wisata kuliner blusukan yang wajib didatangi dan dikunjungi wisatawan domestik ataupun mancanegara saat berkunjung ke Solo. Dan seiring berjalannya waktu, ada beberapa masukan yang diterima Ustiani dan Totok. Mereka pun berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pelanggan. Misalnya, ketika ada permintaan dipasang televisi flat, walau sebenarnya tidak cocok dengan atribut Wedangan Pendhopo, tetapi karena banyak yang meminta, maka mereka sediakan. Wedangan Pendhopo yang berlokasi di Jalan Srigading 1 No. 7, Turisari, Mangkubumen, Solo ini buka sore hingga malam hari. Namun, karena banyak yang minta dibuka pagi hari, mereka pun akan membuat tempat makan yang berkonsep bisa untuk sarapan hingga makan siang.

MOST RECENT