MENIKMATI MANIS DAN GURIHNYA ANEKA BUBUR DI WARUNG RUJAK CINGUR-MAGELANG




Kalau tak ingin sarapan ‘berat’ saat berkunjung ke Magelang, anda bisa mencoba aneka bubur di Warung Rujak Cingur yang terletak di Jalan Jenggala no 56, Magelang. Meski yang menjadi judul warungnya adalah rujak cingur dan di sana juga menjual kue tradisional, ternyata buburlah yang menjadi andalan dan selalu laris di warung yang letaknya tak jauh dari Pasar Tukangan tersebut, terutama di pagi hari. Trima, si pemilik warung, akan dengan ramah menyambut pembelinya dan sigap melayani.

Di warung ini, deretan panci berisi aneka macam bubur, yang juga disebut jenang oleh masyarakat Jawa Tengah bagian barat, tampak memenuhi meja penjualnya. Delapan panci berjejer rapi berisi bubur candil, sumsum, mutiara, kacang item, sagu mutiara, delima, sagu ambon, ubi, dan kacang hijau. Santan yang menjadi pelengkap sudah dikemas dalam plastik-plastik kecil, untuk memudahkan pembelian yang dibawa pulang.



Nah, jika sedang beruntung, pembeli bisa menemukan jenang jewawut yang biasanya jarang tersedia karena sulitnya mendapatkan jewawut. Menariknya, bubur kacang hijau yang dijual warnanya bukan hijau melainkan putih, karena yang digunakan adalah kacang hijau kupas. Rasanya lebih enak, dan sangat disukai anak kecil karena tidak ada ampas kulitnya.

Bubur candil dan sumsum menjadi favorit pembeli. Sementara bayi biasanya menyukai bubur sumsum dan sagu ambon. Pembeli juga bisa memilih bubur mana saja yang ia inginkan untuk dicampur dalam satu porsi. Semua bubur yang dijual Trima bertekstur lembut dan menyatu dengan rasanya yang manis dan gurih. Bila menggunakan kemasan kertas, harga per porsi hanya Rp 3000, sedangkan kemasan gelas plastik ukuran sedang harganya Rp 7000.

Menariknya, bukan hanya anak-anak dan ibu-ibu yang jadi pembelinya, melainkan juga kaum pria yang kebanyakan menyantapnya di warung. Biasanya juga, bubur buatan Trima ini sering dipesan untuk berbagai acara oleh posyandu, SMA Taruna, bank, dan sebagainya. Perempuan lima cucu yang berjualan bubur sejak 2008 ini mulai membuat bubur setiap hari pukul 03.00. Pukul 06.00, Trima mulai berjualan hingga siang, yang setiap harinya selalu habis.  

GETUK GONDOK : Cemilan Taradisional Ala Magelang Dengan Tampilan Warna-Warni




Sebagian orang mengatakan, belum ke Magelang kalau belum makan getuk. Salah satu getuk yang terkenal di sana adalah Getuk Gondok yang dijual Sri Rahayu sejak 1985. Rahayu merupakan generasi ketiga dari getuk merek tersebut, meneruskan usaha warisan nenek dan ibunya. Namun, kapan neneknya mulai berjualan getuk, Rahayu mengaku tak tahu. Yang jelas, saat itu dirinya masih kecil, dan belum sekolah.

Rahayu juga mengingat, neneknya menderita penyakit gondok di lehernya. Itu sebabnya getuk buatannya dinamai getuk Gondok. Setelah neneknya meninggal, ibunda Rahayu meneruskan usaha tersebut. Ibunya memiliki tujuh anak, lima di antaranya perempuan. Kelimanya lalu punya usaha getuk sendiri. Bahkan kini keponakan dan anak Rahayu pun juga mengikuti jejak nenek mereka.

Dulu, sebelum berjualan sendiri, Rahayu hanya membantu kakaknya membuat getuk. Lantaran ingin mandiri, ia pun akhirnya memilih berjualan sendiri. Awalnya, ia membuat 25-35 kg getuk per hari. Berangkat jualan pada pukul 07.00 WIB, dan pukul 14.00 sudah harus pulang karena saat itu  ia masih menyusui bayinya. Terkadang getuknya habis, terkadang juga sisa. Awalnya Rahayu menjajakan getuknya di depan Toko Panorama. Setelah bangunan Pasar Rejowinangun jadi dan ditata rapi, semua penjual yang sebelumnya di pinggir jalan sekitar pasar, termasuk Rahayu, harus masuk ke dalam pasar.

Sayangnya, saat menempati kios di lantai teratas, getuknya tak laku. Sehari, paling hanya laku Rp 10.000. Beruntung, akhirnya Rahayu mendapatkan kios di lantai dasar, satu di Blok B no 17, satunya lagi di Blok C. Tahun 2007, karena harus menjaga suaminya yang sakit, Rahayu tak lagi menjaga kios, bahkan hingga sekarang meski sang suami telah meninggal. Kini, kios Getuk Gondok ditungui oleh anak-anaknya.



Getuk Gondok dijual dalam kemasan kotak kardus dengan beberapa pilihan harga, yaitu Rp 5000, Rp 10.000, dan Rp 25.000. Sedangkan yang dibungkus dijual seharga Rp 3000 berisi delapan potong getuk. Getuk yang tiap malamnya dibuat pukul 01.00-07.00 WIB ini ada tiga macam, yaitu 1, 2, dan 4 warna. Ide membuat getuk dengan beragam warna ini dijelaskan Rahayu, karena ia melihat kue lapis beras yang menarik, berwarna-warni dan bertumpuk-tumpuk. Ia pun mencoba membuat getuk dengan cara itu. Kadang-kadang warna coklatnya ia beri gula merah.

Cara membuat getuk cukup sederhana. Agar menghasilkan getuk yang lembut dan enak, Rahayu sengaja memilih singkong yang masih mempur dengan usia 10 bulan. Ibu empat anak ini juga meggunakan gula pasir dan tak mau memakai pengawet. Itu sebanya, getuk yang dibuatnya harus habis hari itu juga, walau sebetulnya besoknya pun getuk itu tidak berubah kecut dan berair. Tapi Rahayu tetap pada prinsipnya yang tidak mau menjual makanan kemarin. Apalagi, pelanggan sudah tahu tempatnya berjualan, jadi orang akan mudah menemukannya kalau ingin komplain. Kalau sampai pelanggan kecewa karena getuknya tidak enak, Rahayu sendiri yang akan rugi, apalagi di pasar kini banyak saingan. Maka Rahayu memang perlu berhati-hati menjaga kualitas karena getuknya sudah dikenal banyak orang.



Berkat ketekunannya, kini getuknya laku tak kurang dari 150 kg per hari. Bila ada pesanan, pembuatan getuk bisa sampai 300 kg dalam sehai. Pesanan pun datang tak hanya dari Magelang, melainkan juga dari kota lain, termasuk Kebumen. Pesanan ini juga bukan untuk dijual lagi, melainkan untuk acara pribadi, misalnya pernikahan atau oleh-oleh untuk dibawa ke luar kota.

WARUNG RONDE MIROSO - MAGELANG : Menikmati Wedang Ronde Sambil Ditemani Manis Gurihnya Sate Pisang




Dinginnya Magelang di malam hari tak menyurutkan langkah warganya untuk datang ke Warung Ronde Miroso yang ada di Jalan Nanggulan, Medang, Magelang. Meski diberi nama warung, tempat usaha yang dijalankan Hermien Solaiman ini lebih mirip rumah makan kecil. Di dinding tergantung foto-foto artis yang pernah berkunjung. Pesanan dikerjakan di bagian kiri warung yang jadi dapur terbuka, sehingga pengunjung bisa melihat langsung proses penyajian.

Meski menu utama yang dijual hanya sate pisang dan wedang ronde, Miroso tak pernah sepi. Miroso didirikan oleh Ny. Suwondo, ibunda Hermien sejak 1950-an silam, ketika usia Hermien masih 7-8 tahun. Awalnya tempat berjualan hanya mengontrak sebagian kecil sebuah ruangan toko, baru beberapa tahun kemudian Suwondo membeli seluruh bangunan toko itu. Sebagai sulung dari enam bersaudara, Hermien kecil melihat ibunya belajar membuat sate pisang dari neneknya yang tinggal di Solo. Dulu, ia pun sering membantu ibunya membuat sate pisang.


Kala itu, ibunya melihat di Magelang belum ada yang menjual sate pisang. Lalu sang ibu pun memanfaatkan kesempatan itu. Ternyata cukup laku, hingga akhirnya sekarang banyak yang ikut berjualan sate pisang. Sate pisang buatan ibunda Hermien, berupa pisang kepok merah direbus yang dipotong-potong dan ditusuk lidi layaknya sate, lalu diberi saus santan kental itu rupanya menarik perhatian orang. Apalagi, rasanya yang manis gurih dengan saus yang selalu basah menjadi ciri khas yang membedakannya dari sate pisang lain.

Sejak dulu sampai sekarang, menurut Hermien, rasa, bentuk, dan penyajianya tidak pernah berubah. Santannya tetap basah, tidak kempelseperti kue nagasari. Bila sate pisangnya sisa, Hermien, yang baru ikut berjualan sejak 2006, setelah tak lagi tinggal di Jakarta ini menjelaskan, tak akan menjualnya lagi besoknya. Sebab, saus akan terasa asam dan berair. Itu sebabnya, Hermien memilih membuat sate pisang secara bertahap dalam sehari. Ia baru akan membuatnya lagi, bila persediannya sudah habis. Kalau sudah menjelang tutup masih ada sisa, ia akan membagikannya ke orang lain. Setiap hari Hermien membuka warungnya pukul 17.00-22.00. Namun tutup setiap hari Selasa.

Hermien (tengah) bersama pelanggan Warung Ronde Miroso
Untuk wedang ronde, Hermien menggunakan gula asli. Menariknya, selain wedang ronde panas, belakangan Miroso juga menyediakan es wedang ronde. Minuman dingin ini disajikan bukan dengan air jahe, melainkan air jeruk. Sehingga anak-anak yang tidak suka pedasnya jahe tetap bisa menikmati wedang ronde.

Lantaran terus mempertahankan resep awal tanpa mengurangi kualitas sedikit pun, usaha yang dijalankan Suwondo dan anak-anaknya ini tetap awet meski usianya telah lebih dari setengah abad. Pelanggannya yang telah merantau bahkan melanglang buana pun setiap mudik selalu mampir ke warung yang terletak di seberang SMA 3 Magelang tersebut. Saat Lebaran dan akhir tahun tiba, tak sedikit yang rela mengantre sampai trotoar karena tak kebagian tempat duduk. Pembeli dari luar kota yang mampir biasanya mendengar kelezatan pisang sate Miroso dari orang lain. Padahal wedang ronde Miroso tergolong paling mahal di antara wedang ronde lain di Magelang. Per mangkuk harganya Rp 9000, sedangkan sate pisang Rp 3000 per tusuk.


Karena kelezatannya, tak sedikit artis dan publik figur yang sering bertandang ke Miroso, antara lain Ananda Sukarlan, Ade Manuhutu, Putu Wijaya, dan Bondan Winarno. Sedangkan salah satu mantan pejabat lulusan Akmil yang pernah datang ke Miroso adalah mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.

Selain acara arisan, sate pisang dan wedang ronde Miroso seringkali dipesan untuk acara tutup tahun bank, acara kantor, reuni, Lebaran, pernikahan, dan sebagainya. Kalau ada yang ingin membeli dalam jumlah banyak, misalnya sampai 300 tusuk, harus memesan terlebih dahulu. Jadi, begitu datang tinggal mengambil pesanan. Biasanya pengunjung memesan sate pisang dan wedang ronde sekaligus. Hermien menambahkan, meski kini ibunya sudah lanjut usia, setiap harinya beliau masih terus mengawasi proses produksi, pelayanan, dan menjadi kasir agar ingatannya tetap tajam. 

Warung Ronde Miroso


SEJAK 1950 | Buka : Jam 17:00 - 22:00 WIB

Jl. Medang no 6A | Magelang




MOST RECENT