IGA BAKAR SI JANGKUNG - BANDUNG : Menyantap Iga Bakar Tanpa Tulang Di Atas Gerabah



Meski berada di jalan yang hanya bisa dilalui satu arah, Iga Bakar Si Jangkung selalu ramai dipenuhi pengunjung. Tempat makan ini terletak sebelum Masjid Raya Cipaganti di Jalan Cipaganti, Bandung, di sebelah kiri jalan. Iga bakar kambing menjadi andalan warung makan bercat hijau ini. Rasa gurihnya daging kambing bersatu dengan manisnya kecap. Slamet Hariyanto, sang pemilik, memulai usaha ini sejak masih bujangan, tepatnya tahun 1996. Haryanto memilih usaha kuliner lantaran memang hobi memasak. Orangtuanya sendiri memang sudah berjualan sate. Maka, setelah lulus kuliah, ia nekat membuka usaha kuliner mengikuti jejak orangtuanya. Terbiasa melihat orangtuanya memasak membuatnya tak sulit meniru.

Awalnya, setiap hari ia berkeliling dengan gerobak di sekitar Cipaganti, Sejahtera, sampai Hegarmanah menjajakan sate, gulai, nasi goreng, dan tongseng, mulai pukul 16.00-24.00. Memang perjuangan di awal itu cukup berat dirasakan Haryanto. Sebelum mulai berdagang, ia harus belanja satu kilo daging, tiga kilo beras, dan lainnya, namun dagangannya itu baru habis dalam satu minggu. Saat itu, dalam sehari satenya hanya laku 5-10 porsi saja sudah cukup bagus. Diakui Haryanto, semangatnya sempat menurun dengan kenyataan itu, tapi ia tetap berusaha menerima. Yang penting, asalkan ia bisa makan, dan usahanya bisa tetap jalan. Tidak memikirkan keuntungan sama sekali. Karena merasa selalu gagal saat memulai usaha, orangtua lalu memintanya untuk menikah dulu. Menurut kepercayaan orangtua zaman dulu, menikah bisa melancarkan rezeki. Akhirnya tahun 1998, Haryanto pun menikah.


Sebetulnya ia sempat meminta izin orangtuanya agar uang yang sedianya untuk biaya menikah bisa ia gunakan sebagai modal usaha. Tapi orangtuanya menolak. Setelah menikah, ia hanya diberi modal uang Rp 500.000, yang akhirnya digunakannya untuk membeli perlengkapan dan tenda, melengkapi gerobak yang sudah ia miliki sebelumnya. Haryanto pantang menyerah. Tak lama, ia mulai mangkal di pinggir Jalan Setiabudi dengan nama Si Jangkung. Sejak itulah, pelan-pelan usaha iga bakar Haryanto mulai berkembang. Namun, lagi-lagi cobaan datang. Saat usahanya sudah cukup maju, pemilik kios enggan memperpanjang masa kontrak Haryanto. Terpaksa, ia pindah dan berjualan di pinggir jalan.

Dirazia petugas Satpol PP, gerobak ditendang atau diangkut petugas menjadi pengalaman pahit yang dirasakannya kala itu. Berkat tekatnya yang kuat, Haryanto berhasil bangkit lagi dan berjualan di sebuah kios di Jalan Cipaganti yang sampai sekarang ia tempati. Biaya sewa kios sebesar Rp 500.000 per bulan ia rasakan sangat berat karena usahanya baru merangkak lagi dari bawah. Ia memutuskan untuk berjualan sendirian agar bisa menekan biaya operasional. Sekitar tahun 2000, Haryanto berubah haluan dengan menjual iga bakar sebagai menu andalan. Sementara menu lain hanya pelengkap. Ia sadar, penjual sate sudah terlalu banyak. Sementara warga Bandung senang sekali menikmati kuliner yang aneh-aneh. Oleh karena itu, Hayanto lalu memilih iga bakar yang waktu itu memang belum ada di Bandung. Resep yang ia dapatkan dari orangtua, lalu ia kembangkan sendiri. Ia butuh waktu dua tahun untuk menyempurnakan resep tersebut sampai menjadi seperti sekarang.

Alih-alih menggunakan piring biasa, Haryanto juga berkreasi dengan menggunakan gerabah sebagai wadah iga bakar. Idenya ia dapat dari cara penyajian di warung pecel lele pinggir jalan. Ia pun harus berburu sampai ke Jawa Tengah demi mendapatkan gerabah yang tak mudah pecah bila terkena panas. Meski tak lagi berkeliling, bisa dibilang Haryanto memulai usaha iga bakarnya dari nol. Awalnya, dua kilo iga yang ia sediakan baru habis dalam dua minggu. Dalam sehari paling hanya laku 1-2 porsi. Tapi, pria bertubuh jangkung ini lagi-lagi enggan menyerah. Agar usahanya dikenal lebih banyak orang, ia juga mulai rajin mengikuti pemeran kuliner di Bandung. Pertama kali ia mengikuti pameran di sebuah festival kuliner yang diselenggarakan sebuah perusahaan yang memproduksi kecap merek terkenal. Dari situ Iga Bakar Si Jangkung mulai dikenal orang. Stasiun teve juga mulai meliput sehingga banyak yang penasaran dan mencoba.


Makin lama, Iga Bakar Si Jangkung makin dikenal warga Bandung, walaupun diakui Haryanto kini justru orang Jakarta yang lebih mengenal dan menjadi pelanggannya. Tak hanya Bandung dan Jakarta, pembeli iga bakar Haryanto juga berasal dari Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Lantaran warungnya yang buka pukul 18.00-24.00 itu tak cukup lagi menampung pembeli yang datang, Haryanto lalu mengontrak kios di sebelahnya. Di Bandung sendiri, Haryanto kini memiliki tujuh cabang dengan 32 pegawai. Dua berbentuk warung yaitu di Cipaganti dan Pasteur, sedangkan sisanya berada di area food court. Dalam sehari, seluruh cabang menghabiskan 100 kg daging sapi dan 50 kg daging kambing. Total sekitar 750 porsi per hari. Iga bakar per porsi beratnya sekitar 200 gram dijual dengan harga Rp 35.000. Ada juga menu lain seperti gulai, tongseng, nasi goreng, dan sop bakar.

Ciri khas iga bakar milik Haryanto adalah cara pembakarannya yang berbeda dari tempat lain. Sebab, gerabah yang menjadi wadah ikut dibakar bersama makanannya. Jadi sejak awal sampai akhir disantap makanan masih tetap panas dan aromanya lebih sedap. Untuk sate juga sengaja disajikan tanpa tusuk dan iga bakar daging sapi disajikan tanpa tulang supaya porsinya lebih banyak dan lebih mudah disantap. Haryanto juga menjamin iga bakar kambing yang dijualnya tidak berbau prengus. Karena ia menggunakan rempah yang kuat dan bumbu dapur. Dagingnya bisa empuk karena dimasak lama sejak pagi sampai pukul 11.00, lalu api dimatikan. Baru sorenya daging diangkat. Sampai sekarang, masih Haryanto sendiri yang membuat bumbunya agar rasanya tetap terjaga. Dan Haryanto juga berencana untuk membuka waralaba warungnya di luar Bandung.


No comments:

Post a Comment