MENCICIPI KULINER KALIMANTAN TIMUR DALAM WAKTU SINGKAT


Selain menyimpan kekayaan alam yang memukau mata, propinsi Kalimantan Timur juga menawarkan kuliner yang menggugah rasa. Petualangan kuliner di Kalimantan Timur bisa dimulai sesaat setelah menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Sepinggan, Balikpapan. Kota yang menjadi gerbang Kalimantan Timur berkonsep ramah lingkungan ini terlihat indah, modern, dan bersih. Tak heran, jika 2014 lalu, kota ini pernah mendapat penghargaan sebagai ASEAN Environmentally Suistainable Cities (ESC) Award 2014. Ketika itu Balikpapan dianggap memenuhi persyaratan dari 3 kategori yakni, clean land, clean water, dan clean air

Untuk menebus rasa lapar, sebuah restoran penyaji makanan bahari bernama Kenari bisa menjadi tujuan kita di Kota Minyak ini. Sejak lama, Balikpapan dikenal dengan sajian kepiting, sehingga retoran yang menyajikan makanan jenis ini pun mudah ditemui. Dari banyak restoran terkenal di kota ini, Kenari menjadi satu restoran favorit. Berlokasi di Jalan Marsma R. Iswahyudi, Sepinggan, restoran ini terletak tidak jauh dari Bandar Udara Internasional Sepinggan. Hidangan kepiting yang dimasak dengan teknik dan bumbu berbeda menjadi menu utama, ditemani dengan menu udang dan sayur.


Usai bersantap, kita bisa melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda. Untuk sampai di Samarinda, jarak yang ditempuh sekitar 126 kilometer dan membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Walau bukan perjalanan yang singkat, namun kondisi jalan yang bagus disertai dengan pemandangan yang indah membuat kita tetap bisa menikmati perjalanan ini dengan menyenangkan.

Petualangan kuliner di Samarinda bisa dimulai sejak pagi hari dengan menikmati sepiring nasi kuning buatan Hj. Surni yang dijajakan di Jalan Pangeran Diponegoro. Ibu beranak 5 dan nenek 11 cucu ini memulai usaha nasi kuningnya sejak awal 1990-an. Perempuan berdarah Jawa Timur ini merantau di Samarinda dan pernah bekerja di beberapa restoran. Kebetulan, dirinya memang jago memasak dan bisa memasak sarapan khas warga Samarinda, nasi kuning. Ternyata, rasanya pun cocok dengan lidah warga dan sering menjadi oleh-oleh.


Satu porsi nasi kuning dengan lauk ikan haruan, daging sapi, dan telur dihargainya Rp 25.000. Ikan haruan atau gabus memang harus ia sediakan setiap hari, karena pelanggannya suka sekali dengan ikan jenis ini walau saat ini susah mencarinya. Akibatnya, harga ikan haruan satu kilogramnya bisa mencapai Rp 80.000. Menurut Hj. Surni, bila ia mengganti dengan ikan jenis lain, tidak ada yang mau. Hj. Surni membuka kedainya setiap hari pada pukul 06.00. Pada saat hari biasa, ia membuat nasi kuning dari 18 kilogram beras. Namun kalau hari libur bisa sampai 35 kilogram. Perempuan yang sudah menunaikan ibadah haji pada 2002 ini pun mengaku bersyukur, sampai sekarang dagangannya selalu ramai. Selain warga Samarinda, ada juga tokoh dan artis yang datang sarapan di tempatnya.

Setiap hari Hj. Surni mulai memasak pada pukul 03.00, sementara di hari libur ia memasak dari pukul 02.00. Yang dimasak memang lumayan banyak, selain beras, ia juga memasak daging sapi sebanyak 6 sampai 10 kilogram dalam sehari. Lalu telur ayam bisa sampai 400 butir saat hari libur. Menurut Hj. Surni, sempat ada pelanggannya yang menawarkan untuk membuka cabang di kota lain, seperti Jakarta dan Surabaya. Tapi ia masih menolaknya, karena mengurus warung yang ada sekarang saja sudah sangat merepotkan.


Usai menyantap nasi kuning, menjelang siang perjalanan bisa diteruskan dengan berkeliling kota Samarinda yang dilewati oleh sungai Mahakam. Sungai terpanjang di Provinsi Kalimantan Timur ini memiliki panjang sekitar 920 km yang melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Samarinda. Selain dijadikan sumber air, sungai ini juga menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan dan mamalia langka yang terancam punah bernama Pesut. Untuk mengagumi keindahan sungai ini, di beberapa titik tepian sungai berdiri restoran dan warung yang menawarkan beragam penganan seperti roti durian dan buah durian.

Saat ini di warung buah durian hanya ada dua jenis durian yang dapat ditemui, yakni durian mentega yang juga dikenal sebagai monthong, dan durian lokal yang disebut melak. Bentuk buah durian melak tidak terlalu besar, namun mengeluarkan wangi khas yang cukup kuat. Tidak seperti durian mentega yang berdaging tebal, daging durian lokal ini terbilang tipis, dengan rasa manis sedikit pahit yang bisa membuat ketagihan. Berwarna putih sedikit kekuningan, tekstur daging buah durian melak terasa lembut di lidah. Dijual dari harga Rp 5000, menikmati sekitar 10 buah durian melak saja, bersama teman atau kerabat, sepertinya tidak lantas membuat dompet kita mengempis.   

SEGO KUCING : Tradisi Warisan Kuliner Untuk Masyarakat Kelas Bawah



Sejak beberapa tahun terakhir, nasi kucing mulai mengisi resto di Ibu Kota. Sejatinya nasi kucing itu dijual di gerobak-gerobak di Yogyakarta atau di Solo. Meski seporsinya tetap sekuran ‘nasi untuk kucing’, tapi harganya sudah berlipat kali dari tempat asalnya. Nasi kucing yang bahasa asalnya sego kucing memang mendapat namanya dari porsi yang dibuat. Sebuah porsi kecil bagaikan porsi nasi untuk makan kucing, lalu dibungkus dengan daun pisang. Selain itu, lauk di dalamnya pun sederhana, hanya secuil bandeng dan sambal. Lauk lainnya seperti telur, ayam, ikan, tempe, tahu, bisa ditambahkan dengan mengambilnya langsung dari si penjualnya, yakni warung angkringan di Yogyakarta, atau hik di Solo alias Surakarta.

Berdasarkan sejarah, ditemukan data tentang angkringan di Solo pada 1912 dalam Koran Jawi Hisworo. Sejak 1912, saat listrik masuk Solo, para urban kerap menikmati kehidupan di keramaian kota di malam hari. Maka, datanglah orang-orang pinggiran Solo yang menyediakan makanan murah meriah di malam hari. Terminologi ‘angkringan’ pun muncul pada tahun itu. Dalam berita di koran itu bahkan sempat dikisahkan, ada pencopet yang bersembunyi di dalam angkring, tempat menaruh makanan.


Sementara istilah nasi kucing muncul pada 1980-an. Ketika manusia sudah menerima makan seperti kucing dengan cukup secuil bandeng, dan sambal. Para pembeli sudah merasa nikmat dan cukup dengan menyantap hidangan khas ala kucing itu. Nasi yang sama di Yogyakarta pun serupa isinya. Begitu pula istilah angkringan yang digunakan di Yogyakarta dan hik di Surakarta. Keduanya sinonim. Namun ada sisi lain dari nasi kucing yang bisa dilihat. Yakni, maknanya dalam kacamata perempuan Jawa di meja makan. Bahwa wanita Jawa itu kala makan harus sopan, tidak menunjukkan lahapnya di depan publik. 

Harga nasi porsi hemat ini Rp 1.500-Rp 2.000-an sangat cocok dengan kantong mahasiswa. Tak heran bila nasi kucing menjadi populer di kalangan ekonomi ‘pas-pasan’, termasuk tukang becak hingga buruh di kota Yogyakarta dan Solo. Bila di kota-kota lain warung Tegal (warteg) atau mungkin juga nasi Padang, adalah harapan bagi mereka, maka di dua kota ini nasi kucing lah yang menjadi pilihan dan banyak tersedia di angkringan atau hik. Selain harganya yang terjangkau, juga menawarkan suasana yang santai. 

KETHAK, Camilan Dari Ampas Minyak Kelapa Yang Gurih



Ampas minyak kelapa adalah bahan makanan yang bisa diolah menjadi berbagai santapan. Ada orang yang mengolahnya menjadi camilan, ada pula yang menjadikannya pendamping makanan berat. Ada perbedaan penyebutan untuk ampas minyak kelapa ini. Untuk daerah Yogyakarta dan Solo, sering disebut kethak. Sedangkan untuk daerah lain di Jawa, banyak orang menyebutnya blondo. Olahan kethak berasal dari kebiasaan masyarakat dahulu yang sering membuat minyak dari kelapa.

Seorang penjual kelapa parut di Pasar Cinere, Depok, bernama Yono mengaku memiliki usaha sampingan berjualan kethak. Dalam sebulan, Yono bisa mendapat satu atau dua orang yang memesan kethak. Ia memang baru akan membuatkan blondo atau kethak ketika ada yang memesan. Untuk membuat kethak, Yono menggunakan kelapa tua yang masih segar. Kelapa itu lalu diparut dan diperas untuk menghasilkan santan. Santan yang diperoleh lantas direbus sekitar tiga hingga empat jam atau sampai air menguap dan tersisa minyak serta ampasnya. Minyak kemudian dipisahkan dari ampas dengan cara ditiriskan. Ampas tersebut kemudian digoreng lagi sampai betul-betul kering. Selama memasak harus terus diaduk agar tidak gosong. Hasil yang bagus adalah yang warnanya kecokelatan. Dari 20 kelapa, Yono bisa menghasilkan sekitar setengah kilogram kethak. Ia biasa menjualnya seharga Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per kilogram kepada pelanggan. Menurut Yono, usaha ini sebenarnya tidak terlalu serius ia tekuni, karena ia lebih mengincar minyaknya. Tapi karena ada yang memesan, maka ia bisa untuk membuatkan.

Kethak masih cukup populer di berbagai daerah di Jawa. Masih mudah menemukan kethak di Yogyakarta dan Solo. Secara umum, kethak masih bisa ditemukan di daerah yang masih memiliki kebiasaan mengolah kelapa menjadi minyak. Kethak atau blondo pada dasarnya mirip dengan rendang. Hanya bedanya, untuk membuat rendang, blondo akan dicampur dengan berbagai rempah dan minyak. Sementara santan yang direbus tanpa bumbu, maka akan menjadi blondo atau kethak. Kethak bisa diolah menjadi penyerta tiwul. Bahkan dicampur dengan nasi atau ketan pun rasanya nikmat. Untuk anak-anak, kethak juga bisa diolah menjadi permen. Caranya, ampas yang masih seperti lumpur bisa ditambahkan gula pasir. Hasilnya, kethak akan menjadi seperti gulali atau permen.


Banyak masyarakat di pelosok Jawa yang mengkonsumsi kethak. Bahkan, masyarakat menggunakan kethak sebagai lauk dan memakannya dengan nasi panas. Di Maluku juga ada makanan hasil olahan ampas minyak kelapa. Di Ternate, Tidore, dan Halmahera banyak ditemukan ampas minyak kelapa dicampur dengan cabai untuk diolah menjadi sambal. Di Tapanuli Selatan, banyak pula masyarakat yang mencampurnya dengan nasi goreng.  Di Minahasa yang kaya akan hasil bumi kelapa, kethak juga masuk hitungan. Taiminyak, begitu masyarakat Minahasa biasa menyebutnya, dianggap sebagai penyedap masakan. Tumisan daun gedi dengan campuran bawang putih dan kethak akan membuat rasanya semakin gurih dan sedikit manis. Rasanya yang manis-manis gurih memang membuat ampas minyak kelapa ini cukup populer di berbagai wilayah nusantara.


Saat ini, kethak memang belum banyak diolah secara khusus. Ampas minyak kelapa hanya diproduksi dalam skala rumahan. Sementara untuk mengembangkan kuliner ini diperlukan bahan yang banyak. Imbas dari produksi minyak kelapa sawit, membuat praktik pembuatan minyak kelapa sudah jarang dilakukan. Jadi, ampas minyak kelapa ini sekarang sudah bisa disebut langka, yang akhirnya membuat kethak tidak banyak diolah secara khusus.

MENCARI KETHAK SAMPAI KEBUMEN

Bila di banyak daerah kethak tak selalu mudah didapat, lain halnya di pasar-pasar tradisional kawasan Kebumen, Jawa Tengah. Hampir setiap hari, kita bisa memperolehnya pada pedagang sayur. Dengan menyodorkan Rp 500, kita bisa membawa pulang sebungkus kecil kethak. Kethek, begitu orang Kebumen menyebutnya, berasal dari dua tempat, yakni Desa Meles, di selatan Karanganyar, dan Desa Siladrang, di utara Karanganyar. Kedua desa itu adalah penghasil minyak kelapa. Uniknya, pada hari Minggu semua pedagang di Pasar Meles berjualan kethak secara grosir.


Dari 120 butir kelapa yang dibuat minyak klentik (minyak kelapa) biasanya menghasilkan ampas kethak sekitar 3 kg. Pembuatannya sejak pukul 7 pagi hingga pukul 13 siang. Proses memasak minimal enam jam, dengan penuh kesabaran, dan tidak bisa dikebut atau dipercepat. Dapur Mbah Kardi adalah satu-satunya penghasil kethak di Desa Meles. Sementara beberapa yang lainnya  yang telah belajar darinya berada di Desa Siladrang. Sang maestro kethak ini menjadikan kethaknya dalam satu lempengan besar setebal bantal. Kethak lalu dibelah menjadi dua potong, masing-masing seberat tiga kilogram. Harga per kilogramnya Rp 50 ribu. Dari ukuran sebesar itu, kethak kemudian diecer sekepalan tangan, lalu dijual seharga Rp 10 ribu. Sementara ukuran yang lebih kecil lagi, yang berada dalam bungkusan tebal daun pisang, dijual Rp 500-an. Dari kethak yang seharga Rp 50 ribu itu bisa diolah menjadi aneka lauk dan kudapan sampai beberapa minggu. Mulai sebagai tambahan sambal, pelas, hingga kudapan pisang. Untuk penyedap sambal, bahan cabai, bawang merah, bawang putih, garam, sedikit petai cina, lalu ditambahkan sebungkus kecil kethak. Hasilnya sudah cukup membuat lidah bergoyang nikmat. Rasanya bercampur antara pedas, gurih dari minyak kelentik, dan sedikit manis.

Mbah Kardi memang rutin membuat minyak kelapa. Setidaknya dalam seminggu ia bisa memproduksi 35 sampai 50 liter dari 500 butir kelapa tua. Minyak kelapa yang dihasilkannya dibanderol Rp 14 ribu. Memang lebih mahal dari minyak goreng pabrik/sawit yang kisaran harganya Rp 9 ribu.   

MOST RECENT