PETAI : Aroma Dan Cita Rasa Yang Menggugah Selera.


Ukuran mata petai memang tak lebih besar dari koin Rp 500. Akan tetapi, dari ukuran yang kecil tersebut, petai mampu menghasilkan aroma dan cita rasa yang menggugah selera. Meski tak semua orang menyukai aroma yang dimiliki petai, petai tetap menjadi salah satu jenis polong-polongan bernilai ekonomi luar biasa dan banyak dicari. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra Barat, petai merupakan salah satu 'primadona' yang cukup populer untuk dijadikan sebagai hidangan pelengkap hingga hidangan utama.

Yang cukup menarik dari petai ialah jumlah varietasnya yang tak terhingga. Petai berasal dari biji sehingga tiap biji petai yang ditanam akan menghasilkan jenis petai yang berbeda pula. Oleh karena itu, meski semua petai terlihat hampir serupa, pada dasarnya petai-petai yang ada di pasaran berasal dari jenis yang berbeda-beda. Jadi, jika ada sejuta biji yang ditanam, ada sejuta varietas petai yang berbeda. Kecuali, jika petai dikloning dengan dicangkok atau diokulasi. Dia akan sama persis dengan 'ibu'nya.

Meski petai memiliki jumlah varietas yang sangat beragam, ada beberapa 'patokan' dalam mengategorikan petai yang umumnya jarang diperhatikan masyarakat. Patokan ini setidaknya mengerucutkan varietas-varietas petai ke dalam tiga kelompok besar, yaitu petai normal, petai padi, dan petai super. Petai normal merupakan petai yang umumnya ditemukan di pasaran. Jumlah mata petai yang dimiliki oleh jenis ini hanya berkisar antara 12 dan 15 buah mata dalam satu papan petai. Sedangkan, petai padi memiliki ciri khas berupa panjang papan yang lebih pendek dengan jumlah mata petai paling banyak 11 buah. Meski hanya sedikit, mata petai padi memiliki ukuran yang cenderung besar. Kelompok ketiga, yaitu petai super, dapat dikenali melalui jumlah mata petai yang lebih banyak dari petai pada umumnya. Dalam satu papan, petai super dapat memiliki jumlah mata di atas 20 buah.


Selain itu, petai juga dapat dikenali berdasarkan kualitasnya. Petai yang berkualitas memiliki papan yang lurus, panjang, dan bermata banyak. Sedangkan, petai 'kelas 2' memiliki papan yang cenderung melintir. Papan petai yang melintir menunjukkan bahwa petai tersebut terlalu muda saat dipetik atau memang dari awal memiliki 'bakat' yang tidak begitu baik. Sedangkan dari faktor rasa, variasi petai ada yang kecil menyengat, ada yang besar tetapi rasanya ringan, dan ada yang cenderung pahit atau manis. Semuanya tergantung selera.

Di Indonesia, pada dasarnya, ada sekitar satu atau dua jenis petai yang telah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Sayangnya, jenis petai ini tidak dikembangkan dan dibibitkan secara massal sehingga hanya menjadi 'jagoan lokal' saja. Oleh karena itu, mantan direksi Taman Buah Mekarsari Dr Ir Mohammad Reza Tirtawinata MS, yang juga dijuluki Ayah Asuh Bibit Petai, saat ini terdorong untuk mencari petai-petai unggul dari berbagai wilayah di Indonesia untuk kemudian diokulasi induknya. Dengan begitu, peluang untuk mendistribusikan petai berkualitas ke berbagai wilayah di Indonesia akan terbuka. Pada tahun 2014, misalnya, pria yang akrab disapa Reza ini pernah mendatangi sebuah desa kecil di Kalimantan Barat bernama Bale Karangan. Tujuan utamanya kala itu sebenarnya ingin berburu durian di pasar kaget yang diselenggarakan di desa tersebut setiap pekan, yaitu Pasar Pekan. Akan tetapi, saat sedang melakukan pencarian durian, Reza menemukan petai dengan tandan yang besar, jumlah papan yang banyak dengan bentuk yang lurus, serta jumlah mata petai yang mencapai 20. Ia mengaku sebelumnya tidak pernah melihat petai sebaik itu di Pulau Jawa. Sayangnya, penjual petai tidak mengetahui di mana letak pasti pohon petai yang berkualitas itu. Sang penjual hanya mengetahui bahwa petai tersebut berasal dari hutan. Karena tak berhasil menemui pohon induknya, Reza pun segera memborong sekitar 50 papan petai unggul tersebut untuk ditanam dari bijinya, meski bila menanam dari biji berisiko berubah bentuk, tidak sama dengan induknya.


Yang menjadi tantangan, menurut Reza, ialah memperbanyak bibit petai yang berkualitas karena belum ada pengusaha yang tertarik untuk fokus menjadi pembibit petai. Padahal, untuk memenuhi pasar Jakarta saja, diperlukan sekitar seribu hingga 10 ribu pohon petai kolonal atau hasil kloning dari induk petai berkualitas. Penanaman petai hasil kloning atau okulasi ini kemudian memerlukan waktu lima-10 tahun hingga membuahkan hasil yang memadai. Sejauh ini, alumnus Institut Pertanian Bogor ini menemukan ada beberapa daerah yang memiliki petai berkualitas super. Petai dari Gunung Karang, Pandeglang, misalnya, memiliki 21 mata petai dalam satu papan. Selain di Pandeglang, petai-petai yang berkualitas juga Reza ditemui di Lampung serta Kalimantan Barat. Petai-petai tersebut dapat tumbuh dengan baik karena ditunjang oleh beberapa faktor penting. Salah satunya, petai ditanam dengan ketinggian ideal, yaitu 200-800 meter di atas permukaan laut. Selain itu, petai-petai di daerah tersebut juga mendapat curah hujan yang cukup. Menurut Reza, daerah Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Jawa, yang curah hujannya merata setiap tahun sangat bagus untuk ditanam petai. Tapi bila di NTB, NTT, akan menjadi kurang bagus karena daerahnya terlalu kering. Dari petai-petai unggul ini, Reza kemudian melakukan okulasi pada induk petai untuk memperbanyak bibitnya. Akan tetapi, jika ia tidak berhasil menemukan induk pohon dari petai berkualitas yang ia temukan, ia akan mencoba menanam petai tersebut dari biji meski kemungkinan besar petai baru yang akan dihasilkan tidak sama persis kualitasnya.

Tiap daerah pun memiliki rasa petai yang cenderung berbeda. Rasa petai di Jawa Barat cenderung lebih lezat jika dibandingkan dengan petai dari daerah lain. Salah satu alasannya, petai di Jawa Barat cenderung dipanen ketika berusia tua sehingga terasa segar dan beraroma lebih menggugah. Terlepas dari jenisnya yang beragam, semua petai cocok untuk diolah dalam berbagai metode memasak. Hanya, memasak petai perlu memperhatikan waktu karena petai akan berkurang kelezatannya jika dimasak terlalu lama. Idealnya, petai dimasukkan paling akhir dalam proses mengolah masakan. Dalam makanan berkuah, misalnya, petai lebih baik dimasukkan saat lima menit sebelum masakan matang. Selain itu, pemilihan bumbu yang tepat juga penting dalam pengolahan petai. Meski pada dasarnya semua bumbu cocok untuk dikombinasikan dengan petai, namun disarankan agar petai disandingkan dengan bumbu yang kuat, seperti terasi hingga cabai. Jika bumbu terlalu ringan, cita rasa bumbu akan kalah dengan petai. 


Meski sebagian orang tidak menyukai aromanya, petai pun sebetulnya menyimpan khasiat yang baik bagi kesehatan. Salah satunya, petai mengandung serat yang tinggi sehingga baik untuk kesehatan perut. Meski begitu, juga tidak disarankan petai disantap terlalu sering. Pasalnya, petai mengandung zat besi yang cukup tinggi sehingga lebih baik disantap dengan tidak berlebihan. Aroma yang kuat memang tidak bisa dipisahkan dari petai, akan tetapi, setidaknya ada dua cara sederhana untuk meminimalkan aroma kuat dari petai ini. Salah satunya ialah dengan mengkonsumsi buah setelah menyantap petai. Cara lainnya, ialah dengan menyeruput minuman yang telah diberikan daun mint.

WISATA KULINER SORONG - PAPUA BARAT : Menikmati Sajian Hidangan Laut Di Pinggir Pantai.

Pintu gerbang tanah Papua Barat, begitulah sebutan bagi kota Sorong. Memiliki luas 1.105 km2, kota Sorong terbagi menjadi 10 distrik setingkat kecamatan. Tak hanya menawarkan keindahan alam yang luar biasa, wisata kuliner di Sorong pun ternyata tak kalah menggugah selera. Berbagai menu menarik siap dicicip, mulai aneka seafood sampai kuliner tradisional seperti papeda.

SEAFOOD TEMBOK BERLIN


Pencinta makanan laut sebaiknya tidak menyia-nyiakan kesempatan mencicipi hidangan laut dari kota Sorong yang luar biasa. Hidangan laut di kota minyak ini memang dikenal lebih segar dan jauh dari polusi akibat pencemaran laut. Untuk memburu aneka hidangan laut yang lezat seperti ikan bakar, cumi, kepiting, kerang, dan hasil laut lainnya, salah satu pilihan tepat adalah ke pantai Tembok Berlin. Berlokasi tak jauh dari pusat kota Sorong, pantai Tembok Berlin yang juga dikenal dengan nama pantai Doflor ini pada malam hari menjajakan kuliner hidangan laut yang sungguh lezat. Deretan warung tenda pinggir pantai ini berlomba-lomba menyajikan menu seafood dengan harga relatif murah jika dibandingkan dengan harga seafood di kota-kota besar.

Masing-masing warung makan yang berada di pantai Tembok Berlin juga menyajikan keunggulannya pada pelanggan. Ikan-ikan segar sengaja disusun rapi berjajar agar para pengunjung bisa melihat dan memilih langsung ikan segar yang akan diolah dan disajikan. Bagi anda yang baru pertama kali tiba di lokasi ini, tak perlu ragu dan bingung hendak memilih warung makan yang mana. Rata-rata semua warung menawarkan sajian menu yang hampir sama. Namun, ada baiknya anda datang lebih cepat, karena tak hanya wisatawan yang memadati lokasi ini, tetapi juga warga Sorong. Biasanya warga Sorong memilih makan malam seraya menikmati deburan ombak pantai Tembok Berlin.


Beberapa warung makan favorit seperti Warung Miranda memiliki menu kepiting saus asam manis yang lezat dengan harga terjangkau. Untuk seporsi kepiting di warung ini harga yang ditawarkan mulai dari Rp 50.000. Warung lain yang juga menawarkan sajian yang tak kalah nikmat adalah Pojok Madiun. Letaknya berdampingan dengan Warung Miranda. Pojok Madiun juga menawarkan ikan bakar dengan sambal yang dikenal pedas dan nampol. Selain kedua warung tadi, warung lain yang juga ramai dipenuhi pengunjung adalah Warung Malioboro. Anda tak perlu khawatir soal harga. Semua harga yang ditawarkan di lokasi makan ini masih terjangkau untuk kantong. Memang, beberapa hidangan laut dibanderol cukup mahal, terutama menu ikan berukuran besar. Tak heran terkadang terjadi tawar menawar antara pengunjung dengan pemilik warung. Biasanya harga khusus diberikan kepada pengunjung dari luar kota yang ingin menikmati sensasi hidangan laut di kota Sorong.

Salah satu daya tarik lokasi makan Pantai Berlin adalah rasa ikan bakar yang berbeda, padahal hanya dimasak dengan bumbu sederhana. Ikan direndam dalam air santan dan jeruk nipis sebelum dibakar dan diolesi mentega serta bumbu bakar sederhana. Berbagai jenis ikan yang disediakan antara lain ikan baronang, kerapu, bubara, kakap merah, dan kakap putih, serta bawal. Hampir semuanya laris dipilih pengunjung. Salah satu pemilik warung, Rudi, yang berasal dari Pati, Jawa Tengah, mengaku setiap hari setidaknya menghabiskan 50 hingga 60 ekor ikan di warungnya. Bahkan, pada malam minggu atau pada hari libur, Rudi menyediakan hingga 100 ekor ikan untuk disantap para pengunjung.


Saat ditanya apa rahasianya bisa menyajikan menu ikan yang maknyus, Rudi mengaku tidak memiliki resep khusus. Yang jelas, ikan yang ia tawarkan adalah ikan segar, sehingga rasanya jadi lebih nikmat. Tak mau kalah, Rudi pun mempromosikan harga yang dibanderol semua warung makan di pantai Tembok Berlin. Harganya terhitung murah. Dengan uang Rp 40.000 saja kita sudah bisa menikmati lezatnya hidangan laut Sorong.

PISANG GORENG DAN KELAPA MUDA


Kawasan tepi laut di sepanjang jalan raya dan dibatasi tembok pembatas setinggi 3 meter dan lebar sekitar 50 cm ini berfungsi sebagai tanggul yang mencegah luapan air laut saat pasang. Namun, lokasi ini juga menjadi lokasi pilihan untuk melihat keindahan tenggelamnya matahari. Tak hanya warga lokal yang sering memadati pantai Tembok Berlin, tetapi juga para wisatawan. Tak cuma sunset yang dicari para pengunjung dan warga lokal di pantai ini, mereka juga berburu aneka gorengan yang disajikan dan dinikmati bersama sambal sagu beserta air kelapa muda yang segar.

Di pantai ini, gerobak penjaja aneka gorengan berjajar di sepanjang pantai. Biasanya, pantai baru mulai ramai di sore hari menjelang matahari terbenam. Meski menunya hanya gorengan seperti pisang goreng, ubi goreng, tempe mendoan, atau tahu, tapi ketika dicocol dengan sambal sagu, ternyata paduan rasa yang dihasilkan sungguh menerbitkan air liur. Sambal sagu adalah sambal yang dicampur tepung sagu dengan tekstur agak sedikit kental, dicampur ulekan cabe dan daun jeruk yang menyegarkan lidah. Tak heran jika banyak pengunjung yang akhirnya ketagihan mencoba hidangan ringan ini.


Harga yang dipatok untuk hidangan ringan ini sangat terjangkau kantong. Aneka gorengan dijual dengan harga sekitar Rp 1000 per buah. Untuk melengkapi gorengan dan sambal sagu, pengunjung bisa memilih minuman kelapa muda sebagai penyegarnya. Pedagang menawarkan kelapa muda di lokasi pantai Tembok Berlin dengan harga Rp 10.000. Apabila anda ingin mendapatkan lokasi terbaik, sebaiknya beramah tamahlah dengan penjual. Biasanya, para penjual tersebut tak segan meminjamkan alas tikar kepada pengunjung tanpa dipungut biaya.

LEZATNYA PAPEDA DAN IKAN KUAH KUNING.


Sorong memiliki hasil olahan ikan yang melimpah, selain juga dikenal sebagai daerah penghasil sagu. Tak heran jika Sorong memiliki papeda, salah satu kekayaan kuliner yang juga menjadi santapan khas Tanah Papua. Meski terhitung unik, papeda sebenarnya merupakan sajian yang sangat sederhana dan bisa diolah sendiri. Papeda dibuat dari sagu yang dicampur dengan air kemudian dimasak sampai mengental dan menyerupai lem yang lengket. Agar lebih nikmat, papeda biasanya dihidangkan sambil ditemani lauk ikan kuah kuning.

Jenis ikan yang biasanya dipilih antara lain kakap merah, ikan mubara atau ikan merah cendrawasih yang hanya bisa didapatkan di Tanah Papua. Itu sebabnya, citarasa papeda dan ikan kuah kuning jauh lebih lezat daripada tempat lain. Sebetulnya, ikan kuah kuning yang segar dan gurih ini sama seperti gulai ikan pada umumnya, bedanya hanya diolah tanpa santan. Papeda dan ikan kuah kuning biasanya dilengkapi tumis bunga papaya dan kangkung yang disiram dengan irisan jeruk serta dicocol sambal terasi. Rebusan singkong dan pisang terkadang juga menjadi kudapan tambahan.

Selain papeda, Tanah Papua yang dikenal sebagai daerah epidemik malaria juga menawarkan makanan tradisional yang sekaligus menjadi obat. Salah satunya tumis bunga papaya. Seperti halnya papeda, makanan ini boleh dibilang selalu disajikan di setiap rumah makan. Anda bisa menemukan sajian tradisional ini di beberapa rumah makan yang hanya buka sampai sore hari. Di antaranya adalah Rumah Makan Cahaya di Jalan Selat Karimata. Di rumah makan sederhana ini, satu porsi papeda dengan ikan kuah kuning ditawarkan dengan harga Rp 30.000. Namun sebaiknya datang di siang hari. Pasalnya, sajian papeda di rumah makan ini biasanya habis dalam waktu singkat sehingga warung tutup menjelang sore.

Selain rumah makan Cahaya, rumah makan Hawion yang letaknya tepat berada di depan Kantor Walikota Sorong juga menjadi salah satu rumah makan tujuan untuk berburu hidangan papeda dan ikan kuah kuning. Lokasinya yang sangat strategis, serta tempatnya yang nyaman menjadikan rumah makan ini selalu ramai didatangi pengunjung. Harga yang ditawarkan pun sama, yakni Rp 30.000 untuk satu porsi papeda dan ikan kuah kuning. Yang perlu diperhatikan adalah menu papeda yang biasanya diberikan dalam porsi besar. Jadi, bagi yang tak terbiasa makan dengan porsi besar, boleh meminta setengah porsi papeda dan ikan kuah kuning, agar perut tak terasa penuh.






MENCICIPI KULINER KALIMANTAN TIMUR DALAM WAKTU SINGKAT


Selain menyimpan kekayaan alam yang memukau mata, propinsi Kalimantan Timur juga menawarkan kuliner yang menggugah rasa. Petualangan kuliner di Kalimantan Timur bisa dimulai sesaat setelah menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Sepinggan, Balikpapan. Kota yang menjadi gerbang Kalimantan Timur berkonsep ramah lingkungan ini terlihat indah, modern, dan bersih. Tak heran, jika 2014 lalu, kota ini pernah mendapat penghargaan sebagai ASEAN Environmentally Suistainable Cities (ESC) Award 2014. Ketika itu Balikpapan dianggap memenuhi persyaratan dari 3 kategori yakni, clean land, clean water, dan clean air

Untuk menebus rasa lapar, sebuah restoran penyaji makanan bahari bernama Kenari bisa menjadi tujuan kita di Kota Minyak ini. Sejak lama, Balikpapan dikenal dengan sajian kepiting, sehingga retoran yang menyajikan makanan jenis ini pun mudah ditemui. Dari banyak restoran terkenal di kota ini, Kenari menjadi satu restoran favorit. Berlokasi di Jalan Marsma R. Iswahyudi, Sepinggan, restoran ini terletak tidak jauh dari Bandar Udara Internasional Sepinggan. Hidangan kepiting yang dimasak dengan teknik dan bumbu berbeda menjadi menu utama, ditemani dengan menu udang dan sayur.


Usai bersantap, kita bisa melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda. Untuk sampai di Samarinda, jarak yang ditempuh sekitar 126 kilometer dan membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Walau bukan perjalanan yang singkat, namun kondisi jalan yang bagus disertai dengan pemandangan yang indah membuat kita tetap bisa menikmati perjalanan ini dengan menyenangkan.

Petualangan kuliner di Samarinda bisa dimulai sejak pagi hari dengan menikmati sepiring nasi kuning buatan Hj. Surni yang dijajakan di Jalan Pangeran Diponegoro. Ibu beranak 5 dan nenek 11 cucu ini memulai usaha nasi kuningnya sejak awal 1990-an. Perempuan berdarah Jawa Timur ini merantau di Samarinda dan pernah bekerja di beberapa restoran. Kebetulan, dirinya memang jago memasak dan bisa memasak sarapan khas warga Samarinda, nasi kuning. Ternyata, rasanya pun cocok dengan lidah warga dan sering menjadi oleh-oleh.


Satu porsi nasi kuning dengan lauk ikan haruan, daging sapi, dan telur dihargainya Rp 25.000. Ikan haruan atau gabus memang harus ia sediakan setiap hari, karena pelanggannya suka sekali dengan ikan jenis ini walau saat ini susah mencarinya. Akibatnya, harga ikan haruan satu kilogramnya bisa mencapai Rp 80.000. Menurut Hj. Surni, bila ia mengganti dengan ikan jenis lain, tidak ada yang mau. Hj. Surni membuka kedainya setiap hari pada pukul 06.00. Pada saat hari biasa, ia membuat nasi kuning dari 18 kilogram beras. Namun kalau hari libur bisa sampai 35 kilogram. Perempuan yang sudah menunaikan ibadah haji pada 2002 ini pun mengaku bersyukur, sampai sekarang dagangannya selalu ramai. Selain warga Samarinda, ada juga tokoh dan artis yang datang sarapan di tempatnya.

Setiap hari Hj. Surni mulai memasak pada pukul 03.00, sementara di hari libur ia memasak dari pukul 02.00. Yang dimasak memang lumayan banyak, selain beras, ia juga memasak daging sapi sebanyak 6 sampai 10 kilogram dalam sehari. Lalu telur ayam bisa sampai 400 butir saat hari libur. Menurut Hj. Surni, sempat ada pelanggannya yang menawarkan untuk membuka cabang di kota lain, seperti Jakarta dan Surabaya. Tapi ia masih menolaknya, karena mengurus warung yang ada sekarang saja sudah sangat merepotkan.


Usai menyantap nasi kuning, menjelang siang perjalanan bisa diteruskan dengan berkeliling kota Samarinda yang dilewati oleh sungai Mahakam. Sungai terpanjang di Provinsi Kalimantan Timur ini memiliki panjang sekitar 920 km yang melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kota Samarinda. Selain dijadikan sumber air, sungai ini juga menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan dan mamalia langka yang terancam punah bernama Pesut. Untuk mengagumi keindahan sungai ini, di beberapa titik tepian sungai berdiri restoran dan warung yang menawarkan beragam penganan seperti roti durian dan buah durian.

Saat ini di warung buah durian hanya ada dua jenis durian yang dapat ditemui, yakni durian mentega yang juga dikenal sebagai monthong, dan durian lokal yang disebut melak. Bentuk buah durian melak tidak terlalu besar, namun mengeluarkan wangi khas yang cukup kuat. Tidak seperti durian mentega yang berdaging tebal, daging durian lokal ini terbilang tipis, dengan rasa manis sedikit pahit yang bisa membuat ketagihan. Berwarna putih sedikit kekuningan, tekstur daging buah durian melak terasa lembut di lidah. Dijual dari harga Rp 5000, menikmati sekitar 10 buah durian melak saja, bersama teman atau kerabat, sepertinya tidak lantas membuat dompet kita mengempis.   

SEGO KUCING : Tradisi Warisan Kuliner Untuk Masyarakat Kelas Bawah



Sejak beberapa tahun terakhir, nasi kucing mulai mengisi resto di Ibu Kota. Sejatinya nasi kucing itu dijual di gerobak-gerobak di Yogyakarta atau di Solo. Meski seporsinya tetap sekuran ‘nasi untuk kucing’, tapi harganya sudah berlipat kali dari tempat asalnya. Nasi kucing yang bahasa asalnya sego kucing memang mendapat namanya dari porsi yang dibuat. Sebuah porsi kecil bagaikan porsi nasi untuk makan kucing, lalu dibungkus dengan daun pisang. Selain itu, lauk di dalamnya pun sederhana, hanya secuil bandeng dan sambal. Lauk lainnya seperti telur, ayam, ikan, tempe, tahu, bisa ditambahkan dengan mengambilnya langsung dari si penjualnya, yakni warung angkringan di Yogyakarta, atau hik di Solo alias Surakarta.

Berdasarkan sejarah, ditemukan data tentang angkringan di Solo pada 1912 dalam Koran Jawi Hisworo. Sejak 1912, saat listrik masuk Solo, para urban kerap menikmati kehidupan di keramaian kota di malam hari. Maka, datanglah orang-orang pinggiran Solo yang menyediakan makanan murah meriah di malam hari. Terminologi ‘angkringan’ pun muncul pada tahun itu. Dalam berita di koran itu bahkan sempat dikisahkan, ada pencopet yang bersembunyi di dalam angkring, tempat menaruh makanan.


Sementara istilah nasi kucing muncul pada 1980-an. Ketika manusia sudah menerima makan seperti kucing dengan cukup secuil bandeng, dan sambal. Para pembeli sudah merasa nikmat dan cukup dengan menyantap hidangan khas ala kucing itu. Nasi yang sama di Yogyakarta pun serupa isinya. Begitu pula istilah angkringan yang digunakan di Yogyakarta dan hik di Surakarta. Keduanya sinonim. Namun ada sisi lain dari nasi kucing yang bisa dilihat. Yakni, maknanya dalam kacamata perempuan Jawa di meja makan. Bahwa wanita Jawa itu kala makan harus sopan, tidak menunjukkan lahapnya di depan publik. 

Harga nasi porsi hemat ini Rp 1.500-Rp 2.000-an sangat cocok dengan kantong mahasiswa. Tak heran bila nasi kucing menjadi populer di kalangan ekonomi ‘pas-pasan’, termasuk tukang becak hingga buruh di kota Yogyakarta dan Solo. Bila di kota-kota lain warung Tegal (warteg) atau mungkin juga nasi Padang, adalah harapan bagi mereka, maka di dua kota ini nasi kucing lah yang menjadi pilihan dan banyak tersedia di angkringan atau hik. Selain harganya yang terjangkau, juga menawarkan suasana yang santai. 

KETHAK, Camilan Dari Ampas Minyak Kelapa Yang Gurih



Ampas minyak kelapa adalah bahan makanan yang bisa diolah menjadi berbagai santapan. Ada orang yang mengolahnya menjadi camilan, ada pula yang menjadikannya pendamping makanan berat. Ada perbedaan penyebutan untuk ampas minyak kelapa ini. Untuk daerah Yogyakarta dan Solo, sering disebut kethak. Sedangkan untuk daerah lain di Jawa, banyak orang menyebutnya blondo. Olahan kethak berasal dari kebiasaan masyarakat dahulu yang sering membuat minyak dari kelapa.

Seorang penjual kelapa parut di Pasar Cinere, Depok, bernama Yono mengaku memiliki usaha sampingan berjualan kethak. Dalam sebulan, Yono bisa mendapat satu atau dua orang yang memesan kethak. Ia memang baru akan membuatkan blondo atau kethak ketika ada yang memesan. Untuk membuat kethak, Yono menggunakan kelapa tua yang masih segar. Kelapa itu lalu diparut dan diperas untuk menghasilkan santan. Santan yang diperoleh lantas direbus sekitar tiga hingga empat jam atau sampai air menguap dan tersisa minyak serta ampasnya. Minyak kemudian dipisahkan dari ampas dengan cara ditiriskan. Ampas tersebut kemudian digoreng lagi sampai betul-betul kering. Selama memasak harus terus diaduk agar tidak gosong. Hasil yang bagus adalah yang warnanya kecokelatan. Dari 20 kelapa, Yono bisa menghasilkan sekitar setengah kilogram kethak. Ia biasa menjualnya seharga Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per kilogram kepada pelanggan. Menurut Yono, usaha ini sebenarnya tidak terlalu serius ia tekuni, karena ia lebih mengincar minyaknya. Tapi karena ada yang memesan, maka ia bisa untuk membuatkan.

Kethak masih cukup populer di berbagai daerah di Jawa. Masih mudah menemukan kethak di Yogyakarta dan Solo. Secara umum, kethak masih bisa ditemukan di daerah yang masih memiliki kebiasaan mengolah kelapa menjadi minyak. Kethak atau blondo pada dasarnya mirip dengan rendang. Hanya bedanya, untuk membuat rendang, blondo akan dicampur dengan berbagai rempah dan minyak. Sementara santan yang direbus tanpa bumbu, maka akan menjadi blondo atau kethak. Kethak bisa diolah menjadi penyerta tiwul. Bahkan dicampur dengan nasi atau ketan pun rasanya nikmat. Untuk anak-anak, kethak juga bisa diolah menjadi permen. Caranya, ampas yang masih seperti lumpur bisa ditambahkan gula pasir. Hasilnya, kethak akan menjadi seperti gulali atau permen.


Banyak masyarakat di pelosok Jawa yang mengkonsumsi kethak. Bahkan, masyarakat menggunakan kethak sebagai lauk dan memakannya dengan nasi panas. Di Maluku juga ada makanan hasil olahan ampas minyak kelapa. Di Ternate, Tidore, dan Halmahera banyak ditemukan ampas minyak kelapa dicampur dengan cabai untuk diolah menjadi sambal. Di Tapanuli Selatan, banyak pula masyarakat yang mencampurnya dengan nasi goreng.  Di Minahasa yang kaya akan hasil bumi kelapa, kethak juga masuk hitungan. Taiminyak, begitu masyarakat Minahasa biasa menyebutnya, dianggap sebagai penyedap masakan. Tumisan daun gedi dengan campuran bawang putih dan kethak akan membuat rasanya semakin gurih dan sedikit manis. Rasanya yang manis-manis gurih memang membuat ampas minyak kelapa ini cukup populer di berbagai wilayah nusantara.


Saat ini, kethak memang belum banyak diolah secara khusus. Ampas minyak kelapa hanya diproduksi dalam skala rumahan. Sementara untuk mengembangkan kuliner ini diperlukan bahan yang banyak. Imbas dari produksi minyak kelapa sawit, membuat praktik pembuatan minyak kelapa sudah jarang dilakukan. Jadi, ampas minyak kelapa ini sekarang sudah bisa disebut langka, yang akhirnya membuat kethak tidak banyak diolah secara khusus.

MENCARI KETHAK SAMPAI KEBUMEN

Bila di banyak daerah kethak tak selalu mudah didapat, lain halnya di pasar-pasar tradisional kawasan Kebumen, Jawa Tengah. Hampir setiap hari, kita bisa memperolehnya pada pedagang sayur. Dengan menyodorkan Rp 500, kita bisa membawa pulang sebungkus kecil kethak. Kethek, begitu orang Kebumen menyebutnya, berasal dari dua tempat, yakni Desa Meles, di selatan Karanganyar, dan Desa Siladrang, di utara Karanganyar. Kedua desa itu adalah penghasil minyak kelapa. Uniknya, pada hari Minggu semua pedagang di Pasar Meles berjualan kethak secara grosir.


Dari 120 butir kelapa yang dibuat minyak klentik (minyak kelapa) biasanya menghasilkan ampas kethak sekitar 3 kg. Pembuatannya sejak pukul 7 pagi hingga pukul 13 siang. Proses memasak minimal enam jam, dengan penuh kesabaran, dan tidak bisa dikebut atau dipercepat. Dapur Mbah Kardi adalah satu-satunya penghasil kethak di Desa Meles. Sementara beberapa yang lainnya  yang telah belajar darinya berada di Desa Siladrang. Sang maestro kethak ini menjadikan kethaknya dalam satu lempengan besar setebal bantal. Kethak lalu dibelah menjadi dua potong, masing-masing seberat tiga kilogram. Harga per kilogramnya Rp 50 ribu. Dari ukuran sebesar itu, kethak kemudian diecer sekepalan tangan, lalu dijual seharga Rp 10 ribu. Sementara ukuran yang lebih kecil lagi, yang berada dalam bungkusan tebal daun pisang, dijual Rp 500-an. Dari kethak yang seharga Rp 50 ribu itu bisa diolah menjadi aneka lauk dan kudapan sampai beberapa minggu. Mulai sebagai tambahan sambal, pelas, hingga kudapan pisang. Untuk penyedap sambal, bahan cabai, bawang merah, bawang putih, garam, sedikit petai cina, lalu ditambahkan sebungkus kecil kethak. Hasilnya sudah cukup membuat lidah bergoyang nikmat. Rasanya bercampur antara pedas, gurih dari minyak kelentik, dan sedikit manis.

Mbah Kardi memang rutin membuat minyak kelapa. Setidaknya dalam seminggu ia bisa memproduksi 35 sampai 50 liter dari 500 butir kelapa tua. Minyak kelapa yang dihasilkannya dibanderol Rp 14 ribu. Memang lebih mahal dari minyak goreng pabrik/sawit yang kisaran harganya Rp 9 ribu.   

KUPAT KETHEG - GRESIK : WARISAN KULINER SUNAN GIRI



Penampilannya tak jauh beda dengan ketupat lain. Memerlukan perjuangan ekstra untuk membuat kuliner yang satu ini, sebab bahannya sudah sangat langka ditemukan di wilayah aslinya, yakni Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Bahan itu adalah air “ketheg”, atau warga setempat biasa menyebutnya air lantung, yakni air endapan minyak mentah yang keluar dari sumur minyak tua dan berwarna kehijau-hijauan. Air ketheg menjadi bahan olah utama karena mampu memberikan rasa gurih dan asin dalam setiap potongan makanan yang disebut dengan “kupat (ketupat) ketheg” ini. Warnanya pun kuning keemasan.

Perjuangan ekstra, karena untuk memperoleh air ini diperlukan naik turun bukit Desa Giri, yakni lokasi bukit yang merupakan salah satu tempat Kerajaan Giri Kedhaton atau Sunan Giri (salah satu sunan atau wali penyebar agama Islam di tanah Jawa). Dulu ada beberapa sumur tua yang bisa menghasilkan air ketheg. Terakhir, tersisa sebuah sumur di Sekarkurung, Kecamatan Kebomas, serta di Kelurahan Ngargosari. Namun, sumur itu ditutup pemerintah setempat. Maka, jadilah mengambil air ketheg perlu naik turun bukit untuk mendapatkan air itu. Kini, bukit itu sudah tidak bisa memberikan air ketheg secara maksimal. Sumber air ketheg yang berlokasi di bawah Bukit Giri dekat dengan pabrik pengolahan kayu tersebut tinggal sedikit. Debit air ketheg yang keluar kini juga sangat kecil, sehingga tidak bisa langsung mengambil dalam jumlah banyak.


Surahman, adalah salah satu warga yang rutin membuat kupat ketheg. Pria kelahiran 1955 ini membuat kupat ketheg untuk dijual di kawasan wisata religi Sunan Giri. Sebab, meski tergolong produk kuliner yang hampir punah, tapi masih banyak dicari sebagian masyarakat untuk dijadikan santapan, terutama di masa akhir Lebaran. Menurut Surahman, tradisi kuliner kupat ketheg memang selalu ramai pada awal “malam slawe” atau tanggal 25 Bulan Ramadhan sampai dengan H+7 atau tujuh hari setelah Lebaran untuk santapan bersama keluarga.

Proses membuat kuliner ini sama seperti membuat ketupat pada umumnya, namun bahan yang disiapkan berbeda, yakni rendaman airnya menggunakan air ketheg, kemudian isi ketupatnya berasal dari beras ketan, dan bukan beras biasa. Proses pembuatannya, beras ketan dicuci menggunakan air ketheg hingga beberapa kali. Namun proses pencuciannya tidak bisa langsung dilakukan, karena kondisi air ketheg yang baru diambil masih keruh. Sehingga perlu diendapkan selama tujuh hari agar menjadi jernih dan terlihat bersih saat digunakan untuk memasak. Setelah itu, beras ketan dimasukkan ke dalam janur dari pohon kebang yang berbentuk segi empat dan dimasak seperti ketupat pada umumnya. Pohon kebang adalah sejenis lontar yang banyak tumbuh di kawasan Lamongan.

Penyajian kupat ketheg pun berbeda. Bila ketupat biasa disajikan dengan opor ayam, kupat ketheg selalu didampingi dengan parutan kelapa yang disiram cairan gula merah. Rasa gurih kelapa dan manis gula merah selalu menyertai dalam sajian khas ini, mirip seperti jajanan pasar. Efek penggunaan air ketheg ini konon tak hanya pada rasa ketupat. Konon, air ketheg bisa membuat ketupat tahan lama, bahkan bisa bertahan hingga dua pekan.

Makanan ini juga memiliki daya tarik tersendiri. Banyak warga dari Gresik dan luar kota yang mencari kupat ketheg saat Ramadhan dan Lebaran. Penjual kupat ketheg biasanya, dalam sehari bisa mampu memproduksi sekitar 300 buah, dan dijual dengan harga kisaran Rp 2500 per buah, tergantung pula besar kecilnya bentuk ketupat. Namun, dalam jumlah yang tak sebesar seperti pada saat Ramadhan dan Lebaran, kupat ketheg tetap bisa dijumpai pada hari-hari biasa. Yakni, di dekat pemakaman Sunan Giri.

Pemerintah Kabupaten Gresik pun, selalu mendukung tradisi lokal yang ada di wilayah setempat, termasuk kuliner kupat ketheg. Selain kupat ketheg, sebetulnya masih banyak tradisi yang muncul di Kabupaten Gresik saat Ramadhan dan Lebaran, seperti “takziah” atau berkunjung ke makam Wali Songo di Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim, sebelum Ramadhan. Kemudian, tradisi “dhamar kurung” atau lampu lampion khas Gresik yang berbentuk kurungan (sangkar burung) di malam Ramadhan, lalu kolak ayam atau kuliner kolak dengan bahan dasar ayam, dan tradisi “bandengan” atau dikenal Pasar Bandeng, yakni lelang bandeng yang digelar oleh Pemkab Gresik. Pemkab Gresik memang tidak pernah melarang adanya banyak tradisi itu, karena ini adalah bagian dari kearifan lokal warga Gresik.

Tak ada literatur sejarah yang menceritakan tentang asal-usul kupat ketheg. Kebanyakan warga Giri menjadikan ketupat ini bagian dari kelengkapan khas merayakan Lebaran Ketupat dan menjamu para tamu yang datang bersilaturahim. Dulunya, warga membawa ketupat ke masjid sebagai tanda syukur atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Ini memang sudah merupakan tradisi di Gresik, khususnya di Giri. Tradisi kuliner ini konon merupakan peninggalan Sunan Giri, disamping beberapa peninggalan tradisi lainnya yang masih ada hingga kini di Kabupaten Gresik. Warga pun berharap tradisi ini selalu ada, dan bisa menjadi bagian daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke Kabupaten Gresik.


KALEDO DAN PISANG GEPPE SAMBAL KACANG DARI DONGGALA, SULAWESI TENGAH


Pulau Sulawesi juga menyimpan ragam sajian sup yang menggugah selera. Bila anda berkunjung ke Donggala, Sulawesi Tengah, belum lengkap rasanya tanpa mencicipi makanan khasnya, kaledo. Kaledo adalah sup tulang kaki sapi yang di dalamnya terdapat sumsum. Rasanya gurih. Kaledo selama ini dikenal sebagai singkatan dari ‘kaki lembu donggala’. Padahal, sebenarnya kaledo berasal dari bahasa Kaili, bahasa penduduk Palu, yang berarti ‘tidak keras’. ‘Kaki lembu donggala’ hanyalah plesetan masyarakat saja, walaupun memang kaledo adalah makanan yang berasal dari tulang kaki sapi.

Daging dalam kaledo memang melalui proses perebusan yang panjang sehingga tidak keras saat digigit. Kuah kaledo adalah kuah kaldu sup biasa tanpa santan. Kuah bening itu berbumbu sederhana, yakni asam, garam, dan cabai segar. Kaledo juga disajikan dengan sedotan agar penikmatnya bisa langsung menikmati sumsum yang ada di dalam tulang. Kaledo biasa dimakan dengan ubi rebus. Namun saat ini, sudah banyak rumah makan di Donggala yang menyajikan kaledo dengan nasi. Kaledo juga terbagi dalam dua jenis, yaitu dengan tulang dan tanpa tulang.

Dahulu, kaledo adalah salah satu sajian kehormatan di kalangan para bangsawan Palu. Kini kaledo bisa ditemukan dengan mudah di rumah makan-rumah makan di Donggala, Palu, dan kota-kota di Sulawesi lainnya. Rata-rata satu mangkok kaledo dengan tulang dibanderol dengan harga Rp 50 ribu dan kaledo tanpa tulang Rp 35 ribu. Meski lebih mahal, kaledo dengan tulang lebih banyak dicari pecinta kuliner karena sensasi menyedot sumsum yang nikmat.

Makanan khas lainnya dari Donggala yang patut dicoba adalah pisang geppe sambal kacang. Jika di Palu pisang geppe atau pisang goreng sering didampingi sambal terasi dan sambal gula merah, maka di Donggala, pisang geppe dinikmati bersama sambal kacang. Sambal kacang yang disajikan tak ubahnya sambal kacang untuk gado-gado atau sate. Rasanya tak perlu diragukan, perpaduan antara rasa pisang yang manis dan sambal kacang yang gurih nan pedas, membuat ketagihan. Satu porsi pisang geppe sambal kacang cukup bisa langsung dinikmati dengan harga Rp 10 ribu per porsi. 

IGA BAKAR SI JANGKUNG - BANDUNG : Menyantap Iga Bakar Tanpa Tulang Di Atas Gerabah



Meski berada di jalan yang hanya bisa dilalui satu arah, Iga Bakar Si Jangkung selalu ramai dipenuhi pengunjung. Tempat makan ini terletak sebelum Masjid Raya Cipaganti di Jalan Cipaganti, Bandung, di sebelah kiri jalan. Iga bakar kambing menjadi andalan warung makan bercat hijau ini. Rasa gurihnya daging kambing bersatu dengan manisnya kecap. Slamet Hariyanto, sang pemilik, memulai usaha ini sejak masih bujangan, tepatnya tahun 1996. Haryanto memilih usaha kuliner lantaran memang hobi memasak. Orangtuanya sendiri memang sudah berjualan sate. Maka, setelah lulus kuliah, ia nekat membuka usaha kuliner mengikuti jejak orangtuanya. Terbiasa melihat orangtuanya memasak membuatnya tak sulit meniru.

Awalnya, setiap hari ia berkeliling dengan gerobak di sekitar Cipaganti, Sejahtera, sampai Hegarmanah menjajakan sate, gulai, nasi goreng, dan tongseng, mulai pukul 16.00-24.00. Memang perjuangan di awal itu cukup berat dirasakan Haryanto. Sebelum mulai berdagang, ia harus belanja satu kilo daging, tiga kilo beras, dan lainnya, namun dagangannya itu baru habis dalam satu minggu. Saat itu, dalam sehari satenya hanya laku 5-10 porsi saja sudah cukup bagus. Diakui Haryanto, semangatnya sempat menurun dengan kenyataan itu, tapi ia tetap berusaha menerima. Yang penting, asalkan ia bisa makan, dan usahanya bisa tetap jalan. Tidak memikirkan keuntungan sama sekali. Karena merasa selalu gagal saat memulai usaha, orangtua lalu memintanya untuk menikah dulu. Menurut kepercayaan orangtua zaman dulu, menikah bisa melancarkan rezeki. Akhirnya tahun 1998, Haryanto pun menikah.


Sebetulnya ia sempat meminta izin orangtuanya agar uang yang sedianya untuk biaya menikah bisa ia gunakan sebagai modal usaha. Tapi orangtuanya menolak. Setelah menikah, ia hanya diberi modal uang Rp 500.000, yang akhirnya digunakannya untuk membeli perlengkapan dan tenda, melengkapi gerobak yang sudah ia miliki sebelumnya. Haryanto pantang menyerah. Tak lama, ia mulai mangkal di pinggir Jalan Setiabudi dengan nama Si Jangkung. Sejak itulah, pelan-pelan usaha iga bakar Haryanto mulai berkembang. Namun, lagi-lagi cobaan datang. Saat usahanya sudah cukup maju, pemilik kios enggan memperpanjang masa kontrak Haryanto. Terpaksa, ia pindah dan berjualan di pinggir jalan.

Dirazia petugas Satpol PP, gerobak ditendang atau diangkut petugas menjadi pengalaman pahit yang dirasakannya kala itu. Berkat tekatnya yang kuat, Haryanto berhasil bangkit lagi dan berjualan di sebuah kios di Jalan Cipaganti yang sampai sekarang ia tempati. Biaya sewa kios sebesar Rp 500.000 per bulan ia rasakan sangat berat karena usahanya baru merangkak lagi dari bawah. Ia memutuskan untuk berjualan sendirian agar bisa menekan biaya operasional. Sekitar tahun 2000, Haryanto berubah haluan dengan menjual iga bakar sebagai menu andalan. Sementara menu lain hanya pelengkap. Ia sadar, penjual sate sudah terlalu banyak. Sementara warga Bandung senang sekali menikmati kuliner yang aneh-aneh. Oleh karena itu, Hayanto lalu memilih iga bakar yang waktu itu memang belum ada di Bandung. Resep yang ia dapatkan dari orangtua, lalu ia kembangkan sendiri. Ia butuh waktu dua tahun untuk menyempurnakan resep tersebut sampai menjadi seperti sekarang.

Alih-alih menggunakan piring biasa, Haryanto juga berkreasi dengan menggunakan gerabah sebagai wadah iga bakar. Idenya ia dapat dari cara penyajian di warung pecel lele pinggir jalan. Ia pun harus berburu sampai ke Jawa Tengah demi mendapatkan gerabah yang tak mudah pecah bila terkena panas. Meski tak lagi berkeliling, bisa dibilang Haryanto memulai usaha iga bakarnya dari nol. Awalnya, dua kilo iga yang ia sediakan baru habis dalam dua minggu. Dalam sehari paling hanya laku 1-2 porsi. Tapi, pria bertubuh jangkung ini lagi-lagi enggan menyerah. Agar usahanya dikenal lebih banyak orang, ia juga mulai rajin mengikuti pemeran kuliner di Bandung. Pertama kali ia mengikuti pameran di sebuah festival kuliner yang diselenggarakan sebuah perusahaan yang memproduksi kecap merek terkenal. Dari situ Iga Bakar Si Jangkung mulai dikenal orang. Stasiun teve juga mulai meliput sehingga banyak yang penasaran dan mencoba.


Makin lama, Iga Bakar Si Jangkung makin dikenal warga Bandung, walaupun diakui Haryanto kini justru orang Jakarta yang lebih mengenal dan menjadi pelanggannya. Tak hanya Bandung dan Jakarta, pembeli iga bakar Haryanto juga berasal dari Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Lantaran warungnya yang buka pukul 18.00-24.00 itu tak cukup lagi menampung pembeli yang datang, Haryanto lalu mengontrak kios di sebelahnya. Di Bandung sendiri, Haryanto kini memiliki tujuh cabang dengan 32 pegawai. Dua berbentuk warung yaitu di Cipaganti dan Pasteur, sedangkan sisanya berada di area food court. Dalam sehari, seluruh cabang menghabiskan 100 kg daging sapi dan 50 kg daging kambing. Total sekitar 750 porsi per hari. Iga bakar per porsi beratnya sekitar 200 gram dijual dengan harga Rp 35.000. Ada juga menu lain seperti gulai, tongseng, nasi goreng, dan sop bakar.

Ciri khas iga bakar milik Haryanto adalah cara pembakarannya yang berbeda dari tempat lain. Sebab, gerabah yang menjadi wadah ikut dibakar bersama makanannya. Jadi sejak awal sampai akhir disantap makanan masih tetap panas dan aromanya lebih sedap. Untuk sate juga sengaja disajikan tanpa tusuk dan iga bakar daging sapi disajikan tanpa tulang supaya porsinya lebih banyak dan lebih mudah disantap. Haryanto juga menjamin iga bakar kambing yang dijualnya tidak berbau prengus. Karena ia menggunakan rempah yang kuat dan bumbu dapur. Dagingnya bisa empuk karena dimasak lama sejak pagi sampai pukul 11.00, lalu api dimatikan. Baru sorenya daging diangkat. Sampai sekarang, masih Haryanto sendiri yang membuat bumbunya agar rasanya tetap terjaga. Dan Haryanto juga berencana untuk membuka waralaba warungnya di luar Bandung.


MI KOCOK MANG DADENG - BANDUNG : Kelezatan Dari 15 Macam Rempah Dan Sumsum.



Mi kocok yang satu ini sangat legendaris di Bandung dan kini dikelola oleh generasi ketiga. Mulanya, Usman, orangtua dari Dadeng yang pertama kali berjualan mi kocok dengan cara dipikul berkeliling dari satu kampung ke kampung sekitar tahun 1967. Ketika ayah Dadeng meninggal, kakak-kakak Dadeng lalu meneruskan usaha ini. Namun, setelah salah satu kakaknya vakum, barulah Dadeng yang meneruskan usaha ini dan di tangannya lah usaha ini menampakkan kemajuan berarti. Hingga akhirnya, tahun 1990 Dadeng mangkal di Jalan KH. Ahmad Dahlan 67, Buah Batu, Bandung, di seberang tempat usahanya sekarang. Para pembeli yang sudah ketagihan rasa mi kocok Dadeng akhirnya mendatangi warungnya. Dua tahun kemudian, rumah makan Dadeng pindah ke tempat sekarang. Makin hari, pembeli Mi Kocok Mang Dadeng makin ramai, terutama di akhir pekan dan hari libur.

Jangan heran melihat pembeli rela mengantre menunggu kursi kosong, terutama pada jam makan siang. Lezatnya mi kocok Mang Dadeng tak luput dari 15 macam rempah yang menjadi bahan bakunya, antara lain daun salam, lengkuas, ketumbar, dan sebagainya. Mi kocok sendiri terdiri dari mi gepeng berwarna kuning, tauge, dan potongan kikil yang sangat empuk karena direbus beberapa jam. Bila beruntung, anda juga bisa mendapatkan sumsumnya yang lezat. Sumsum inilah yang menjadi kelebihan mi kocong Mang Dadeng dibanding mi kocok lainnya. Mi kocok biasa dihargai Rp 23.000, bila ditambah sumsum Rp 27.000. Selain mi kocok, Dadeng juga menyediakan sop kaki sapi yang per porsinya dijual seharga Rp 27.000. Kalau ditambah sumsum harganya Rp 30.000.


Lezatnya mi kocok ini rupanya tak hanya dikenal di kalangan warga Bandung dan sekitarnya saja. Pembeli dari luar kota termasuk Jakarta, bahkan dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, Jepang, dan Belanda, tak jarang mengunjungi tempat makan yang sederhana ini. Bulan Juni sampai September, biasanya pembeli mayoritas wisatawan dari Malaysia. Bahkan, pernah ada pembeli dari Jepang yang menawari Mang Dadeng untuk membuka cabang di sana, namun ditolak Mang Dadeng karena terlalu jauh. Sementara di Bandung saja pembelinya sudah banyak. Dalam seminggu biasanya ada publik figur seperti pemain bola dan artis yang menyantap mi kocok ini. Di antaranya Armand ‘Gigi’ Maulana, Laudya Cynthia Bella, dan Paramitha Rusady.

Pada hari Senin sampai Kamis, biasanya tempat ini menghabiskan 700 porsi per hari, sedangkan saat akhir pekan bisa 1000 porsi per hari. Sementara saat Lebaran bisa mencapai 2.500 porsi per hari. Kini, mi kocok yang sering dipesan untuk acara pernikahan, rapat, dan jamuan ini dikelola oleh anak keempat Dadeng, meski Dadeng yang kini sudah berusia 71 tahun masih tetap mengawasi jalannya usaha.

CUANKI SERAYU - BANDUNG : Cuanki Dengan Porsi Isi Besar Dan Rasa Kuah Yang Beda.



Sepintas, cuanki mirip dengan bakso malang. Isinya antara lain tahu putih yang diisi aci, siomay, bakso, pangsit rebus, pangsit goreng, dan bakso goreng. Hanya saja, tak seperti bakso malang, cuanki tidak menggunakan mi kuning. Kuahnya yang gurih pun bening bertabur irisan daun bawang. Di Cuanki Serayu yang terletak di Jalan Serayu, Bandung, masing-masing isi dibuat dalam ukuran cukup besar sehingga menyantap setengah porsi pun terasa kenyang. Selain cuanki, Cuanki Serayu juga menyediakan batagor yang berisikan tahu, siomay kering, pangsit, dan bakso goreng. Bila anda ingin bersantap di sana, mengantrelah di barisan yang biasanya mengular ke luar. Sementara, bila bermaksud dibawa pulang, anda bisa langsung memesan di gerobak di bagian kanan depan.

Meski sebenarnya cuanki lebih nikmat dimakan saat udara dingin karena kuahnya yang panas, pembeli yang datang di Cuanki Serayu tak mengenal waktu. Siang sejak baru dibuka pun cuanki ini sudah mulai diserbu pengunjung. Malah, terkadang setengah jam sebelum buka, mereka sudah mulai mengantre. Saat jam makan siang tiba, warung makan ini kerap tak mampu memuat ‘ledakan’ pengunjung yang berdesakan mencari tempat duduk. Di dalamnya, pembeli seolah tak menggubris panasnya hawa dan sempitnya ruang gerak karena disesaki 50 pengunjung. Selain itu, meski harus mengantre panjang atau duduk di bawah pohon di trotoar di samping atau seberang warung pun, para pembeli juga tak keberatan. Memarkir mobil agak jauh karena di sekitar Cuanki Serayu sudah penuh oleh mobil para pembeli yang datang lebih dulu juga tak masalah.


Penuhnya pembeli memang sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Cuanki Serayu. Tak heran meski jam tutupnya pukul 19.00, tempat makan yang buka mulai pukul 11.00 ini biasanya sudah habis pukul 17.00. Terkadang, pembeli yang sudah datang dari jauh pun tidak sempat kebagian karena keburu habis. Menurut para pembeli, rasa kuah Cuanki Serayu yang berbeda dari tempat lain lah yang membuat mereka sering datang ke sini. Siomay dan pangsitnya pun juga tidak keras. Banyak pembeli yang datang dari luar kota seperti Jakarta. Meski di jual di pinggir jalan, tak kurang dari selebritis dan istri pejabat kerap datang mencicipi gurihnya Cuanki Serayu, termasuk Annisa Pohan, menantu mantas presiden SBY. Ada pula yang membeli untuk dibawa ke luar kota seperti Bali dan Pekanbaru.

Setiap hari, tempat makan yang libur setiap Senin pertama di awal bulan ini menghabiskan cuanki dan batagor masing-masing 200-300 porsi. Satu porsi cuanki atau batagor dihargai Rp 15.000, sedangkan separuh porsi Rp 10.000. Selain melayani pengunjung yang datang, Cuanki Serayu juga sering menerima pesanan untuk berbagai acara, mulai dari arsan, ulang tahun, sampai pernikahan. Bila memesan minimal 100 prosi, akan dikirimkan orang untuk melayani para tamu di tempat acara.


Sejak awal didirikan tahun 1997, tempat makan yang kini memiliki 15 orang pegawai ini memang berlokasi di Jalan Serayu, Bandung. Kasno, pria asal Kebumen yang merantau ke Bandung, sebelumnya memang berjualan cuanki dengan gerobak pikul dan mangkal di Jalan Serayu. Lezatnya cuanki buatan Kasno membuatnya semakin laris dan akhirnya ia berhasil memiliki warung sendiri pada 1997 di tempat yang sama. Sejak itulah, cuanki Kasno semakin diburu banyak orang. Penuhnya tempat makan itu lalu membuat Kasno mendirikan cabang di Jalan Mangga, yang juga sering penuh seperti warung yang ada di Jalan Serayu. Ada pula di Jalan Cihapit, tapi bentuknya bukan warung, melainkan dijual dengan gerobak beroda di pinggir jalan. Dari tiga cabang itu, total jumlah pegawai Kasno mencapai 22 orang dengan penjualan sekitar 500 porsi cuanki dan 200 porsi batagor setiap harinya.

KERIPIK TEMPE BENGUK KHAS WONOGIRI : Gurihnya Lebih Dari Keripik Tempe Biasa


Biji benguk yang melimpah di daerah Wonogiri, Jawa Tengah ternyata juga bisa memancing kreativitas warganya. Biji benguk itu diolah menjadi penganan khas seperti keripik tempe. Namanya keripik tempe benguk. Sekilas, cemilan ini hampir serupa dengan keripik tempe dari biji kedelai. Namun, ada rasa berbeda saat kita mencicipinya. Rasa keripik tempe benguk lebih gurih meski sedikit lebih keras. Salah satu keripik tempe benguk yang mudah didapatkan di kota Wonogiri dan sekitarnya adalah milik Tumini. 

Tumini bercerita, sebenarnya usaha keripik tempe sudah dimulai oleh orangtuanya sejak lama. Jadi sejak kecil ia memang sudah akrab dengan olahan keripik tempe. Akan tetapi, Tumini dan sang suami, Rakino, kemudian berinisiatif mencoba mengganti biji kedelai dengan biji benguk untuk diolah menjadi keripik tempe. Sejak tahun 2000, ia pun mulai menawarkan keripik tempe benguk dengan harga Rp 600 saja, karena saat itu masih diecer dan dijual keliling.

Ternyata respons yang datang cukup mengejutkan Tumini. Banyak yang suka dengan keripik tempe benguk kreasinya. Dari semula hanya mengolah keripik tempe benguk sebanyak 2 kilo, Tumini kemudian terus meningkatkan kapasitas produksi. Dan lama kelamaan keripik tempe benguknya justru dijadikan oleh-oleh dan laku keras. Tumini tentu saja amat bangga karena olahan tempe benguk ini kini sudah makin marak di kota Wonogiri. Sekarang memang sudah banyak pengrajin keripik tempe benguk, karena cemilan ini berhasil menjadi pilihan lain oleh-oleh khas Wonogiri selain kacang mete.


Untuk mengolah keripik tempe benguk, Tumini yang berproduksi di Grobog, Wuryorejo, Wonogiri ini perlu menjalani proses yang panjang serta butuh kesabaran karena memang cukup rumit. Biji benguk harus direndam selama lima hari lima malam baru bisa dicampur dengan adonan tepung beras. Kemudian ditambahi bumbu untuk dijadikan keripik tempe. Sampai kini produksi olahan keripik tempe benguk Tumini masih terus meningkat. Setidaknya ia memproduksi hingga 15 kilo setiap harinya bahkan bisa lebih hingga dua kali lipat saat libur hari besar. Tumini menginginkan, ke depannya keripik tempe benguk ini tidak hanya memiliki rasa yang original saja, tetapi juga ada rasa lainnya sebagai inovasi. Sekarang Tumini menjual keripik tempe benguk olahannya dengan harga yang masih terjangkau, mulai Rp 10 ribu hingga Rp 18 ribu untuk ukuran mika bulat yang besar.

Salah satu kendala yang dihadapi Tumini saat mengolah cemilan khas Wonogiri ini adalah ketika biji benguk tidak panen. Meskipun sebetulnya keberadaannya cukup melimpah di Wonogiri, terlebih saat musim panen, tetapi pernah pula ia mengalami kesulitan mendapatkan biji benguk. Kalau sudah begitu, mau tak mau ia mengganti produksinya dengan keripik tempe biasa. Hasil olahan keripik tempe benguk Tumini tak hanya dipasarkan di wilayah Wonogiri saja, tetapi sudah tersebar hingga Sukoharjo. Selain dengan cara titip jual di toko oleh-oleh di Pasar Kota, ia juga menjualnya ke beberapa pasar seperti Pasar Eromoko dan Ngadirojo. Tumini bersyukur, keripik tempe benguk olahannya banyak yang menyukai.

KACANG METE BU DHARMO PUTRO DAN PENGANAN KHAS WONOGIRI LAINNYA



Siapa yang tidak kenal cemilan kacang mete? Rasanya yang gurih membuat cemilan ini sebagai salah satu cemilan yang disukai. Nah, bagi yang tengah berkunjung ke kota Wonogiri, Jawa Tengah, tak afdol apabila tak membawa kacang mete sebagai oleh-oleh. Pasalnya, Wonogiri memang dikenal menghasilkan mete yang berkualitas. Adalah Bekti Rahayu, perempuan tengah baya asli Wonogiri, yang dikenal memiliki kacang mete goreng yang istimewa. Dengan merek mete Bu Dharmo Putro, kacang mete goreng hasil olahan Bekti pun siap disantap langsung oleh pembeli.

Bekti bercerita awalnya ia hanya menjual kacang mete mentah saja, tetapi sekarang di tokonya juga sudah disediakan yang digoreng. Jadi pembeli tinggal memilih saja. Harga kacang mete mentah Rp 110 ribu per kilo, sedangkan yang matang saat ini Rp 115 ribu per kilonya. Soal rasa, kacang mete Bu Dharmo Putro menawarkan sesuatu yang berbeda. Gurihnya beda dengan kacang mete lain. Istri Darsito ini mengaku bumbu yang ia gunakan sebetulnya sama saja. Tetapi mungkin cara menggoreng dan mengolah sejak dari kacang mentah yang berbeda. Ia selalu mengupas dan langsung menggoreng, hingga kacangnya jadi lebih gurih dan renyah. Selain itu, Bekti juga memilih menggoreng dengan menggunakan kayu bakar. Rasanya memang jadi lebih berbeda.


Tak mengherankan jika produksi kacang mete Bu Dharmo Putro kini bisa mencapai 4 kuintal. Pesanan rutin datang dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Cirebon, Semarang, dan Bali. Tak tanggung-tanggung, kacang mete buatan Bekti ini juga sudah merambah hingga ke pasar luar negeri seperti Negeri Sakura Jepang dan Thailand. Bermula dari adik iparnya yang memiliki pasangan orang Jepang, saat datang ke Wonogiri dan mencicipi kacang mete buatannya sepertinya jadi ketagihan. Kemudian melalui bisnis biro travel khusus untuk orang Jepang, adik iparnya itu mulai memasarkan di Jakarta, dan berlanjut sampai masuk ke salah satu pasar di Jepang.

Tak hanya menawarkan kelezatan kacang mete, perempuan kelahiran Wonogiri 9 Januari 1953 ini juga mengenalkan penganan lokal lainnya. Diantaranya geti, karak, ampyang, tape ketan, emping manis, serundeng, dan sambel pecel. Semuanya diproduksi langsung. Sejak kecil Bekti memang sudah suka memasak dan sekalian diajari berdagang oleh orangtuanya. Lewat usahanya ini ia juga ingin mengenalkan dan mempertahankan cemilan tradisional Wonogiri. Salah satu penganan unik siap santap dan sekarang sudah jarang dimasak adalah cabuk wijen. Karena sudah sulit dicari, maka beberapa pelanggan yang mungkin kangen dengan cabuk wijen lalu meminta Bekti untuk membuatkan. Dan ternyata benar, cabuk wijen buatannya itu laku keras dan banyak peminatnya.


Setiap hari, Bekti memproduksi cabuk wijen hingga 150 bungkus, masing-masing seharga Rp 2 ribu per bungkus. Makanan ini serupa dengan botok atau pepes. Enaknya disantap dengan nasi. Karena memang sudah jarang yang membuatnya, maka Bekti ingin mengenalkannya kembali, sekaligus memelihara kuliner tradisional Wonogiri. Permintaan memang meningkat, terlebih bila menjelang Lebaran. Ia bisa membuat cabuk wijen sampai tiga kali lipat, dan itu pun masih sering kurang karena saking banyaknya yang mencari. Semua hasil olahan Bekti langsung dipasarkan di beberapa tempat oleh-oleh miliknya dan keempat anaknya yang tersebar di kota Wonogiri.

LELE MANGUT MBAH MARTO - YOGYAKARTA : Menyantap Langsung Dari Dapur Tradisional


Dari luar, tempat wisata kuliner yang satu ini sama sekali tidak mirip warung. Lokasinya pun berada di tengah perkampungan. Hanya spanduk bertuliskan Mangut Lele Mbah Marto di bagian depan saja yang menandakan bahwa rumah itu berfungsi sebagai warung. Selebihnya, di teras dan ruang tamu yang lantainya masih plesteran, tampak orang-orang memenuhi meja makan dan kursi-kursi kayu di sana sambil bercanda dengan keluarga masing-masing. Sementara, di samping rumah yang berlantai tanah, para pembeli juga sibuk menyantap nasi lele mangut di bangku kayu panjang. Maka, tak perlu sungkan seperti tamu di rumah yang amat sederhana milik Mbah Marto yang terletak di Dusun Ngireng-ireng, Saraban, Panggungharjo, Sewon, Bantul, ini. Begitu masuk ke pekarangan rumahnya yang berisi sumur, silahkan langsung menuju samping rumah dan terus masuk ke dapur.


Di situ anda bisa memesan menu legendaris di warung ini, yaitu nasi mangut lele yang disajikan bersama gudeg dan sambal goreng krecek. Ada pula garang asem ayam atau hati, opor ayam, dan sate kerang. Semua disajikan di atas lincak bambu yang lebar, anda tinggal mengambil sendiri yang diinginkan. Namun, jangan kaget bila mata langsung terasa perih ketika masuk ke dapur, bilamana tungku masih menyala. Semua menu di warung yang buka setiap hari pukul 10.00-16.00 ini memang dimasak dengan menggunakan tungku kayu bakar. Sebelum dibuat mangut, lele diasap terlebih dahulu agar tidak tengik dan aroma sedapnya keluar. Lalu, dibumbui antara lain bawang merah, bawang putih, kunci, cabai, dan santan kental.

Menurut Kasilah, anak bungsu Mbah Marto, ibunya itu mulai berjualan mangut lele sejak masih muda, tepatnya usia 20 tahun. Saat itu ibunya berkeliling kampung sambil menggendong tenggok berisi mangut lele, mulai jam 10.00. Waktu itu, jumlah mangut yang dijual belum bisa banyak karena berat membawanya. Baru sekitar 25-30 tahun kemudian, Mbah Marto tidak lagi berkeliling dan membuka warung di rumahnya. Para pelanggannya yang merasa kehilangan lalu mencari ke rumah. Kelezatan lele mangut Mbah Marto membuat makin banyak pembeli yang datang sejak saat itu.


Para pembeli juga berasal dari luar kota, termasuk Jakarta, Surabaya, bahkan tak sedikit bule yang datang. Pak Bondan Winarno dan Pak William Wongso pun juga sudah beberapa kali datang ke sini. Banyak juga selebritis yang datang seperti Guruh Soekarno Putra, Indro Warkop, dan Indie Barends. Sampai sekarang, rasa mangut lele Mbah Marto tidak pernah berubah. Kasilah kini yang dipercaya meneruskan usaha ini dibantu bibi dan kerabatnya. Bila beruntung, pengunjung juga bisa berkesempatan bertemu dengan Mbah Marto yang usianya telah sepuh. Meski sudah lanjut usia, Mbah Marto yang memiliki enam anak ini tetap ikut membantu berjualan, bahkan menjadi kasir. Ia juga selalu dengan ramah dan jenaka melayani para pelanggan yang ingin berpose dengannya. Pada hari biasa, lele yang dibutuhkan sekitar 25-30 kg, sedangkan pada hari libur bisa mencapai 40 kg per hari. Harga seporsi nasi mangut lele atau nasi garang asem Rp 20.000.
   


MANGUT LELE MBAH MARTO

Dusun Ngireng-ireng, Saraban, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Phone: 089 623 047 222

MOST RECENT