WISATA KULINER SUMENEP



Kawasan paling ujung pulau garam Madura tak hanya beken dengan peninggalan bersejarah berupa makam raja-raja, tapi juga makanan khas yang menggugah selera. Makanan-makanan tersebut dimasak dengan bahan dasar yang unik, misalnya kaldu sumsum sapi atau jagung. Nah, jika anda dan keluarga sedang mengunjungi pulau Madura, jangan lewatkan kesempatan mencoba bebagai jenis kuliner ini.

 KALSOT




Salah satu menu andalan dan selalu dicari orang yang berkunjung ke pulau Madura, khususnya Sumenep, adalah kalsot alias kaldu soto. Kalsot sendiri merupakan makanan berkuah kaldu kikil sapi. Salah satu penjual kalsot yang cukup terkenal di Sumenep adalah Ny. Rum Adnan di Jl. Dr. Wahidin, Sumenep. Warung kalsot ini awalnya dibuka oleh nenek dari Rum yang biasa dipanggil Bu Slamet. Sekitar tahun 1967, Rum menggantikan Bu Slamet melanjutkan mengelola warung, karena paman atau bibinya tidak ada yang mau melanjutkan usaha tersebut. Rum mengaku tidak menemui kesulitan melanjutkan usaha warung kalsot milik neneknya. Karena sejak kecil ia sudah ikut neneknya, jadi tahu persis olahannya.

Rum, yang pernah menjadi juara umum lomba masakan daerah tingkat propinsi ini, mengaku bangga karena dari kerja kerasnya menjual makanan khas Sumenep tersebut, ia sudah bisa berkeliling ke berbagai daerah dan berkenalan dengan para pejabat. Dulu, ketika Jaksa Agung dijabat Rahman yang kebetulan asli Sumenep, dirinya seringkali diundang ke rumah dinas Jaksa Agung di Jakarta pada saat Jaksa Agung menjamu tamu atau tengah punya hajatan. Dan rata-rata para tamu tersebut sangat senang dan lahap sekali menyantap kalsotnya.

Penampilan kalsot memang membuat selera makan langsung bangkit. Makanan tersebut masuk kategori ‘kelas berat’, maklum bahan dasarnya adalah kaldu dan kikil sapi yang dihidangkan sekaligus bersama tulang-tulangnya. Rasanya, lidah ini tak mau berhenti tatkala tengah menyantap kalsot. Keasyikan menikmati kalsot justru saat menikmati daging yang ada di sela-sela tulang.

Apa sih sebetulnya kalsot ? Kalsot sebenarnya tak beda jauh dengan soto kikil. Yang agak membedakan, kaldu kalsot dipenuhi kaldu sumsum sapi yang dicampur dengan kacang ijo, sehingga kuahnya cenderung agak kental dengan rasa gurih. Kikil kalsot juga terasa empuk ketika dikunyah. Yang perlu diketahui, rasa kikil sapi ternyata berbeda antara sapi betina dan sapi jantan. Pada sapi jantan, kikilnya cenderung bertekstur lebih lembek, sementara tekstur kikil sapi betina agak sedikit lebih keras, namun lebih lezat. Perbedaan lain, kikil sapi betina warnanya agak kemerah-merahan, sementara sapi jantan berwarna putih.

Biasanya, penjual kalsot juga menyediakan menu soto babat. Sesuai dengan namanya, di dalam kuah soto, selain dipenuhi dengan babat sapi juga terdapat jerohan lainnya. Selain itu, rasa bumbu kacang dan aroma petis Madura-nya begitu menggugah selera. Yang membedakan lagi, soto kikil di Sumenep disajikan tidak dengan nasi tetapi dengan dua menu pengganti nasi yaitu lontong dan singkong rebus. Kalsot yang disantap dengan singkong ternyata juga memiliki aroma soto kikil yang jauh berbeda dibanding jika disantap dengan nasi putih. Rasa singkong rebusnya pun pas sekali, ada rasa manisnya di lidah. Memang, singkong terasa lebih pas disandingkan dengan kalsot sebab dari latar belakang sejarah, suku Madura dulu memang menjadikan singkong sebagai makanan pokok setelah jagung. Tapi, menurut Rum, terkadang ada juga pembeli yang minta nasi. Selain itu, ada lagi yang berbeda pada sajian kalsot. Selain lontong dan singkong rebus, setiap sajian soto kikil selalu disediakan kroket berbahan singkong.

Karena kelezatannya, kalsot dan soto kikil Rum Adnan sudah banyak dikenal, sehingga menjadi tujuan wisata kuliner para pelanggan pada hari libur atau Lebaran. Tak heran, saat Lebaran, Rum harus menyediakan bahan sebanyak mungkin sebab jumlah pembelinya berlipat-lipat. Pada hari biasa, ia sehari minimal menghabiskan satu panci besar berisi 125 porsi. Pada saat Lebaran, tidak sampai sehari biasanya sudah habis 10 panci. Seringkali, pada saat Lebaran juga, karena jumlah pembeli yang begitu banyak, Rum terpaksa sampai membuka tenda di depan rumahnya sampai pinggir jalan. Rum menjual satu porsi kalsot dengan harga Rp 30.000 dan soto kikil Rp 12.500.

Yang menjadi persoalan bagi Rum, karena permintaan kikil yang begitu besar, pasokan bahan-bahan untuk membuat kalsot dan soto kikil pun seringkali terhambat. Dalam sehari, Rum minimal menghabiskan 125 porsi kalsot, sedangkan soto kikil menghabiskan usus sekitar 30 kilogram. Kendati kalsot maupun sotonya sudah dikenal dan dicari orang, namun Rum tidak pelit berbagi ilmu. Ia dengan senang hati akan memberikan resep kepada orang yang membutuhkan. Baginya, berbagi pengetahuan tidak akan mengurangi rezekinya, tapi justru memberi banyak berkah. Pernah, ada salah satu majalah wanita dari Jakarta yang meminta resep kalsot karena mau diterbitkan, Rum pun tak keberatan untuk memberikan. Sayangnya, ketiga anak Rum, tidak ada satupun yang berminat melanjutkan jejaknya karena mereka sudah hidup mapan dan berkecukupan di berbagai bidang.

RUJAK MADURA




Siapa yang tak mengenal rujak ? Makanan satu ini sepertinya sudah menjadi kudapan wajib. Bahkan, hampir setiap daerah memiliki makanan sejenis rujak. Meski sama-sama rujak, masing-masing memiliki rasa berbeda. Misalnya Surabaya yang terkenal dengan rujak cingur, atau Jawa Barat yang dikenal dengan rujak serut. Demikian pula rujak Sumenep. Pada dasarnya, rujak Sumenep hampir sama dengan rujak cingur khas Surabaya. Isinya, selain cingur sapi, ada pula mangga, mentimun, bengkoang, dan lain-lain, ditambah sayur kecambah dan kangkung rebus. Setelah itu, bahan-bahan tadi dituang dengan bumbu kacang yang sudah diulek campur petis.

Kendati nyaris sama, tapi ada perbedaan dalam hal rasa. Yang membedakan rujak Sumenep dengan rujak cingur Surabaya adalah, rujak Sumenep terasa lebih gurih, warna bumbunya pun lebih terang. Perbedaan ini terletak pada petis yang digunakan. Jika rujak cingur pada umumnya menggunakan petis berbahan dasar udang, maka petis yang digunakan penjual rujak di Sumenep berasal dari petis berbahan ikan pindang. Rasanya tentu berbeda sekali, karena petis ikan jauh lebih gurih dan mahal.

Ada satu lagi perbedaan rujak Sumenep dengan rujak cingur Surabaya atau rujak-rujak dari daerah lain. Sebelum dihidangkan, di atas rujak Sumenep diberi taburan keripik singkong goreng. Singkong ini memang sudah menjadi pasangan yang pas untuk rujak Sumenep.

NASI JAGUNG.




Satu menu masakan lagi dari Sumenep adalah nasi jagung. Seperti yang kita tahu, masyarakat pulau garam Madura dulunya sehari-hari mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Tapi, seiring dengan perkembangan zaman, terjadi peralihan dari nasi jagung menjadi mengkonsumsi nasi. Kendati demikian, makanan itu tidak hilang begitu saja, bahkan beberapa tempat makan ada yang masih menyediakan menu tersebut. Salah satunya adalah warung makan milik Komariah, di Jl. Panglima Sudirman, Sumenep.

Meski warung Komarian terlihat tidak seberapa besar dan hanya menempati bangunan sangat sederhana, namun sehari-hari cukup banyak pembeli yang datang. Tidak hanya karena harganya yang murah, namun masakan Komariah juga memang sangat pas di lidah. Menurut Komariah, justru sekarang ini yang makan di tempatnya sebagian besar bukan kalangan menengah. Kalau pagi hari, yang datang kebanyakan karyawan Pemda atau dokter sebelum berangkat ke rumah sakit.

Yang membuat nasi jagung Komariah terasa lebih enak, nasi jagung khas Madura tersebut dilengkapi dengan berbagai lauk seperti potongan ikan tongkol bumbu rujak, ikan asin, serta sambal. Sambalnya pun terdiri dari cabe, petis Madura, dan dicampur dengan mentimun serta kecambah. Salah satu yang membuat nasi jagung nikmat, adalah petisnya. Karena yang digunakan bukan petis udang, tetapi petis ikan.

Sajian itu juga masih dilengkapi dengan sayur bening. Biasanya, sayur bening itu menggunakan bayam, tapi di warungnya Komariah menggunakan daun kelor atau oleh masyarakat setempat disebut daung marongki, yang rasanya lebih sedap dari sayur bayam. Karena itu, nasi jagung yang dijual Komariah seharga Rp 6000 per porsinya ini seringkali habis ketika masih tengah hari. Sebab, seringkali karyawan Pemda pesan mendadak dalam jumlah besar.



MI ONGKLOK PAK MUHADI - WONOSOBO. Mi Dengan Rasa Manis dan Gurih Berkuah Lau.



Rasanya belum lengkap jika ke Wonosobo bila tidak mencoba makanan khasnya, yaitu mi ongklok. Penampilannya mirip mi ayam, hanya saja makanan yang satu ini dicampur irisan kol dan daun kucai, lalu diguyur lau, sejenis kuah kental yang gurih. Biasanya, mi ongklok disantap bersama sate daging sapi. Salah satu penjual mi ongklok yang terkenal di Wonosobo adalah Warung Mi Ongklok Pak Muhadi.

Sebelum berjualan mi ongklok, Muhadi lama menjadi penjaja mi lau milik seorang pengusaha kuliner keturunan Tiongkok di kota berhawa dingin tersebut. Setelah keluar dari pekerjaannya, Muhadi lalu mengolah mi lau dan mencampurkannya dengan bumbu rempah-rempah lain, yang kemudian dikenal dengan nama mi ongklok. Setelah mahir meramu, pada tahun 1967 Muhadi mulai menjajakan mi ongklok berkeliling dari kampung ke kampung dengan pikulan.


Rupanya, banyak yang menyukai mi ongklok buatan Muhadi, sehingga usahanya laris. Setelah memiliki modal cukup, Muhadi tak lagi berkeliling kampung. Ia berjualan di sebuah warung yang sederhana dan sempit di pusat kota. Saat membuka warung itulah, Muhadi sangat kaget karena pembelinya ternyata membludak. Usahanya makin laris dan besar. Sejak itu, banyak orang mengikuti jejak Muhadi berjualan mi ongklok.

Anaknya pun ikut membantu usaha Muladi. Tahun 1989, Muhadi meninggal. Sejak itu warung mi ongkloknya diteruskan Mujiono Hadi, salah satu anaknya. Warung lalu dipindah ke Jalan Ahmad Yani No 1 yang bertahan hingga sekarang. Dalam mengelola usaha peninggalan orangtuanya, Mujiono mengaku tak mengubah rasa dan proses pembuatannya. Pembeli yang datang bisa melihat langsung saat pesanannya dibuat, karena Mujiono mengerjakan pesanan di bagian depan warung yang bisa menampung sekitar 60 pengunjung itu.
Mujiono Hadi, salah satu putra Pak Muhadi yang meneruskan berjualan mi ongklok
Di etalase kaca, Mujiono menyusun mi, kol, kucai, dan selada sayur yang sudah diiris. Proses pembuatannya pun cukup mudah. Pembeli bisa meminta tingkat kepedasan mi ongklok karena cabai rawit hijau langsung diulek di mangkuk yang akan disajikan. Lalu daun kucai, selada air, dan kol dimasukkan ke wadah bambu berukuran kecil dengan gagang panjang. Setelah diongklok-ongklok (dicelupkan beberapa kali) ke air mendidih, mi dimasukkan ke bambu dan dipadatkan di atasnya. Lalu kembali diongklok-ongklok ke dalam panci beberapa kali, setelah itu ditiriskan. Mi dan sayuran lalu dituang ke dalam mangkuk, disiram kuah lau hingga tergenang. Setelah itu, diberi kecap manis dan taburan bawang goreng. Terakhir,  mi disiram bumbu kacang. Mi pun siap disajikan bersama seporsi sate daging sapi yang baru dibakar ketika dipesan.

Lau sendiri merupakan sejenis kuah kental yang terbuat dari tepung kanji dengan bumbu kaldu ayam, bawang putih, merica, gula merah dan garam. Rasa lau yang gurih juga kuat akan merica. Sedangkan mi ongklok yang manis karena siraman bumbu kacang terasa pas dengan gurihnya sate sapi. Tak heran, Mi Ongklok Pak Muhadi setiap hari ramai dikunjungi pembeli, termasuk dari luar kota seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan kota sekitar Wonosobo, bahkan para artis ibukota. Warung yang setiap hari buka pukul 11.00-21.00 juga menerima pesanan untuk hajatan, termasuk dari luar kota. 

RESTORAN ASIA - WONOSOBO. Bertahan Sejak 1930, Dengan Masakan Khas Canton


Restoran yang satu ini terletak di Jalan Angkatan 45 No 35 Wonosobo. Meski terlihat, kecil dari luar, restoran ini bagian dalamnya ternyata luas dan memanjang ke belakang. Menyajikan menu khas oriental, restoran ini sering jadi tujuan para pejabat dan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang sedang berkunjung ke Wonosobo. Tak jarang, wisman tersebut datang berombongan dengan bus ke restoran yang ikut disebut dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie ini. Restoran Asia memang sudah bekerja sama dengan beberapa agen perjalanan. Sehingga, wisatawan yang umumnya turis Eropa biasanya diajak bersantap di sini. Mereka menganggap restoran ini salah satu ikon kota Wonosobo. Tak sedikit pula para wisman yang datang ke sini atas rekomendasi kakeknya, yang pada zaman Belanda dulu pernah makan di tempat ini. 

Terkadang, para wisman datang sambil membawa bungkus sendok garpu dari kertas bertuliskan Restoran Asia, untuk dicocokkan dengan yang ada di restoran. Mereka mendapatkannya dari temannya atau kakeknya. Maklum saja, Restoran Asia memang sudah lama berdiri di Wonosobo, yaitu sejak 1930. Pendirinya, Tam Hong, merupakan pria asli Tiongkok yang kemudian merantau ke Indonesia dan menjadi koki di kapal Tjitjalengka, kapal pesiar dengan tujuan China dan Jepang. Setelah beberapa tahun bekerja di sana, Tam Hong menetap di Wonosobo bersama istrinya dan menyewa toko yang sekarang menjadi restoran. Mulanya, istri Tam Hong hanya menjual makanan kering dan barang-barang antik di toko mereka yang bernama Kien Hing, sambil sesekali menjual masakan bila ada pesanan. Karena makin banyak pesanan, akhirnya beberapa bulan kemudian Tam Hong membuka restoran kecil dan Kien Hing berubah nama menjadi restoran Canton. Sesuai namanya, restoran ini menjual masakan khas Canton.

Mulanya, restoran ini hanya mampu menampung delapan meja. Pedagang yang datang ke Wonosobo, tentara Belanda dan Jepang yang ada di kota itu seringkali berkunjung ke restoran. Menurut cerita, karena dulu belum ada kulkas, penyimpanan bahan ayam masih dengan cara digantung lalu diasap agar awet. Setelah Tam Hong tiada, restoran diteruskan oleh Tang Jin Khan yang seorang koki dan istrinya, Tam Jai Ling.  Lalu setelah Tang Jing Khan meninggal, usaha kembali diteruskan oleh salah satu putranya, Tatang Harijanto, dibantu oleh istrinya Valentina Sutini. Tahun 1980, restoran berganti nama menjadi Asia.

Menurut Valentina Sutini, atau akrab disapa Tini, setelah menikah, ia memang banyak belajar memasak dari suaminya. Setelah itu ia yang dipercaya untuk lebih banyak memegang tugas memasak dan terjun di dapur restoran. Sementara, suaminya fokus pada pembangunan Hotel Surya Asia, yang letaknya tak jauh dari restoran. Namun, pada 2006, suami Tini meninggal. Praktis, Tini yang kemudian mengelola sendiri restoran dan hotel. Selama setahun pertama, tak sedikit yang meragukan kemampuannya memasak dan keaslian resepnya, sehingga banyak pelanggan terutama yang keturunan China tak mau datang kembali. Padahal, sejak suaminya masih hidup, ia yang bertahun-tahun memasak. Meski sedih luar biasa, tapi Tini tetap menekuni usahanya. Sampai akhirnya banyak pelanggan yang tadinya meninggalkan Restoran Asia, datang kembali setelah merasakan sendiri hasil masakan Tini. Setelah itu, restorannya kembali ramai. Tini pun kembali bersemangat. Tak sedikit pelanggan yang merayakan perjamuan bersama keluarga besarnya di Restoran Asia setelah acara lamaran atau kumpul keluarga saat Imlek dan Lebaran.
Valentina Sutini, generasi ketiga pengelola Restoran Asia
Tini sendiri yang notabene berdarah Jawa dan asli Bantul, kemudian menyesuaikan menu yang dijual menjadi menu halal, mengingat banyak juga pengunjung muslim yang datang. Tini sadar, Wonosobo merupakan kota kecil. Jadi, meskipun menjual masakan  Canton, ia harus bisa menyesuaikan dengan pengunjungnya, yang ada dari kalangan pegawai instansi, pengunjung berjilbab, dan sebagainya. Rasanya pun disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Tidak ada yang menggunakan minyak babi atau menu yang tidak halal. Selain itu, Tini juga menyesuaikan dengan perkembangan zaman, antara lain dengan menyediakan sapo tahu dari tahu sutera. Begitu pula dengan menu Cah Pucuk Daun Labu, yang dimasak tanpa santan dan terasa empuk saat dikunyah. Kedua menu ini dulunya tidak ada dalam daftar sajian restoran.

Tini mengaku, ia harus terus berinovasi dan menyesuaikan zaman agar restorannya tidak tergerus oleh restoran atau kuliner baru. Menurutnya, dulu banyak restoran yang menjual masakan China di Wonosobo. Namun, karena pemiliknya tidak telaten dalam menjalankan usahanya, banyak yang kemudian tutup. Karena pada dasarnya, Wonosobo bukanlah kota yang restorannya akan selalu penuh pengunjung, mengingat jumlah penduduknya yang juga tidak banyak. Maka kalau tidak telaten dan tidak menyukai berbisnis kuliner, bisa patah semangat saat tidak ada tamu yang datang. Di Restoran Asia Sendiri, turis asing biasanya baru ramai berkunjung mulai bulan Juni hingga Oktober.

Dalam melayani pengunjung, Tini yang menganggap karyawannya sudah seperti anak sendiri ini, tak mau main-main. Ia sengaja menerapkan cara kerja profesional di restoran yang buka pukul 09.00-15.30, lalu sore tutup sebentar, dan buka kembali pukul 17.30-21.00 tersebut. Semua masakan memiliki standar pembuatannya. Menggoreng ikan atau Lumpia Hongkong, misalnya, setelah warna kuningnya mencapai standarnya, baru boleh diangkat. Tini bersyukur, semua karyawannya sekarang sudah mahir. Ada atau tidak ada dirinya, mereka bisa memasak dengan standar yang sama dengan Tini. Selain itu, satu orang hanya memegang satu tugas. Yang bertugas mengiris bahan baku, tugasnya hanyalah itu. Demikian pula yang tugasnya memasak, hanya memasak saja. Dengan begitu, masakan cepat tersaji meski pesanan banyak dan pembeli tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan pesananannya. Padahal, semua bahan baru diiris dan dimasak ketika ada pesanan.

Tini yang kini memiliki 20 pegawai di restorannya ini, juga menjadikan karyawannya yang sudah tahunan bekerja sebagai aset. Ia mengajari para pelayannya untuk memadu padankan menu agar ketika pengunjung bertanya, mereka mampu memberikan beragam pilihan menu dengan rasa yang pas di lidah. Tentu pengalaman kuliner itu akan berkesan bagi pengunjung yang datang ke Restoran Asia. Mereka juga diajari untuk melayani pembeli dengan standar seperti layaknya restoran China berbintang lima.

Tini sendiri sampai sekarang tetap ikut terjun memasak di dapur. Tak hanya itu, ibu tiga anak yang semuanya sudah dewasa ini, juga rajin mendatangi pelanggan di meja untuk menyapa sekaligus meminta masukan. Menurut perempuan ramah ini, untung tidak besar tidak masalah. Karena ia memang bukan hanya mencari keuntungan saja, melainkan juga mencari pelanggan dan hubungan dekat dengan pelanggan agar mereka betah dan kembali lagi ke restorannya. Tini bahkan hafal makanan favorit pelanggannya yang berasal dari toko-toko sekitar restorannya.

Menu yang menjadi favorit di Restoran Asia antara lain Sup Canton yang terdiri dari tahu, jamur shitake kering, ayam, dan seafood. Menu Ayam Goreng Canton yang disantap bersama garam wangi, yaitu bumbu lima rempah, bahkan menurut Tini, tidak ditemui di restoran lain. Cah Pucuk Daun Labu, dan Gurame Asam Manis yang berkulit renyah juga jadi favorit pengunjung. Tini mematok harga mulai dari Rp 30.000-Rp 150.000. Tini, yang juga mengelola pemasaran hotel peninggalan suaminya ini mengakui, kelezatan masakan restorannya membuat banyak orang Wonosobo bernostalgia ke tempatnya setiap mudik. Tak sedikit pula yang mengajaknya bekerja sama membuka cabang baru di kota lain. Namun ia menolak.

Tini lebih memilih memberikan edukasi pada anak-anak di Wonosobo dengan membeli tanah di Desa Tambi untuk menanam sayur organik, agar mereka bisa memilih dan memasak sayur yang tepat. Di lahan itulah, Tini menanam secara organik sayuran yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk restorannya. Untuk menu, Tini mengutamakan menggunakan bahan baku lokal, termasuk teh Tambi, kopi Wadas Lintang, dan kopi Kalikajar yang asli Wonosobo, terutama sejak tahun 2012. Bahkan untuk sayuran pun, Tini yang sudah sejak tahun 1984 tinggal di Wonosobo ini lebih memilih yang asal kota ini, kecuali seafood dan jamur jenis tertentu, seperti shitake yang didatangkan langsung dari Tiongkok.

WISATA KULINER KAWASAN TAPOS-BOGOR, JAWA BARAT


Sebagai salah satu kota penyangga ibukota, Bogor, sudah sejak lama menjadi tujuan favorit bagi warga Jakarta untuk menikmati liburan akhir pekan. Tak hanya menawarkan kesejukan udaranya, kota berjuluk Kota Hujan ini, juga kini ramai dengan tawaran wisata kuliner dengan beragam jenis menu, yang mampu menggoyang lidah penikmatnya. Selain di pusat kota, sentra kuliner di kota ini juga bisa ditemui di kawasan pinggiran. Salah satunya berada di daerah Tapos, yang masuk ke dalam wilayah kecamatan Ciawi, kabupaten Bogor. Butuh waktu 1 jam dari pusat kota Bogor untuk menuju ke daerah yang oleh masyarakat sekitar sering disebut Seseupan ini. 

MIE AYAM IJO


Salah satu hal yang menarik dari sajian kuliner di kawasan ini adalah hadirnya menu makanan sehat yang tentu saja menawarkan rasa berbeda dari menu biasanya. Salah satunya, yang bisa anda coba adalah Warung Mie Ayam Ijo, yang terletak di Jalan Tapos III, depan persis SMU Ciawi. Warung ini memang tidak terlalu besar, hanya ada 5 meja yang masing-masing terdiri dari 4 kursi. Sesuai dengan namanya, Mie Ijo merupakan makanan mie dengan warna hijau. Mie ini tentu saja dibuat sendiri oleh pemiliknya, dengan tidak menambahkan pengawet atau pewarna buatan. Warna hijau didapatkan dari bahan sayur mayur berwarna hijau, seperti bayam.

Dalam satu porsi Mi Ayam Ijo ini, selain mie, juga disertai potongan daging ayam berbentuk dadu, sayur sawi, dan kerupuk pangsit, persis seperti mie ayam pada umumnya. Namun pelanggan juga bisa bila ingin ditambahkan dengan bakso, yang juga hasil buatan sendiri dari pemiliknya. Harganya pun sangat terjangkau, hanya Rp 9000. Saat disuguhkan dalam mangkuk, mie ayam ijo ini tidak tampak ‘menggunung’ namun tetap padat, karena mie juga tidak mengandung bahan pengenyal dan pengembang. Menikmati mie ijo ini pengunjung tidak hanya akan mendapatkan rasa yang gurih dan enak, tapi juga menyehatkan.


Warung yang dimiliki oleh pasangan suami istri, Joko Widodo dan Erna ini, buka setiap hari sejak pukul 07.00 pagi. Sejak memulai berjualan pada 2011, mereka memang sudah sepakat ingin menawarkan konsep menu yang menyehatkan, yakni makanan yang tidak mengandung pengawet, pengenyal, pengembang, maupun pewarna buatan. Selain mie berwana hijau, kini mereka pun juga menawarkan mie dengan warna lain, yaitu orange dan hitam. Warna orange, menurut mereka didapatkan dari bahan wortel, sementara untuk warna hitam diperoleh dari tinta cumi. Sebagai pelengkap, di warung ini juga disediakan pilihan minuman. Namun yang menjadi andalan adalah jus viber, yakni jus campuran sayuran dan buah, dengan rasa yang segar dan manis. Dari menu-menu yang ditawarkan ini, kedai mie ayam ijo tentu saja sangat masuk akal untuk dijadikan pilihan berkuliner yang menyehatkan, plus dengan harga yang juga terjangkau.  

BATAGOR SEHAT


Selain Mie Ijo, kuliner lain yang masih mengandalkan menu sehat adalah Batagor Sehat yang masih berada di daerah Tapos, Bogor. Batagor yang merupakan singkatan dari bakso tahu goreng ini, adalah cemilan berasa gurih yang sebelumnya populer di Bandung. Kini penjualannya memang sudah mulai menyebar ke berbagai kota di Indonesia, umumnya Pulau Jawa, dengan penampilan dan rasa yang sudah mengalami penyesuaian.

Kedai Batagor yang berada di jalan Tapos ini menyediakan dua jenis batagor, yakni batagor kuah dan batagor kering. Batagor kering adalah batagor dengan bumbu saus kacang, sedangkan batagor kuah tentu saja dalam penyajiannya diberi kuah, mirip kuah bakso. Walau penampilannya nyaris sama dengan batagor yang dijual di tempat lain, namun yang membedakannya adalah adanya tulisan tanpa vetsin, pengenyal, dan pengawet yang terpampang di depan warung. Tentu saja ini akan menawarkan rasa yang berbeda.

Karena ukuran kedainya yang kecil, hanya ada satu meja besar dengan beberapa bangku, pembeli yang ingin menikmati batagor ini kebanyakan memesan untuk dibawa pulang. Harga yang ditawarkan pun cukup murah, yakni Rp 10 ribu. Beberapa pengunjung yang sudah sempat menikmati batagor ini menjelaskan, batagor ini rasanya begitu enak, kekenyalan dan pedasnya juga sangat pas. Warna sausnya juga tidak kemerah-merahan, dan yang utama tentu saja tidak ada rasa vetsin yang kadang sering membuat tengorokan seperti terbakar.

SURABI MANG UBAN


Bagi anda yang menyekuai cemilan surabi, bisa juga menikmati lezatnya surabi yang ada di kedai Surabi Duren Mang Uban. Kedai yang terletak di pojok perempatan Jalan Raya Puncak, Ciawi, Bogor, ini nyaris tak pernah sepi pengunjung, entah di weekdaysatau weekend. Pada bagian depan kedai yang terbuat dari bambu ini, banyak tungku yang digunakan untuk memasak surabi.

Mang Uban, pemilik kedai ini menjelaskan, dulu saat baru membuka kedai ini, ia hanya meyediakan empat meja dengan masing-masing empat bangku untuk pengunjung yang ingin menikmati surabi di kedainya. Namun seiring makin bertambahnya pengunjung yang datang setiap hari, maka ia pun terpaksa harus meluaskan kedainya dan membambah jumlah mejanya menjadi sepuluh buah.


Walau judulnya surabi duren, namun kedai ini tidak hanya menyediakan surabi dari bahan duren saja. Puluhan jenis surabi dengan berbagai macam variasi rasa pun turut disediakan, seperti strawberry, keju, pisang, nangka, coklat, kacang, kismis dan lain lain. Jika memilih surabi duren, maka surabi akan ditemani dengan kinca/saus dari duren kental berwarna kekuning kuningan.

Sebelum sampai ke meja pengunjung, surabi akan dimasak dulu di atas tungku dengan menggunakan wajan kecil yang terbuat dari tanah liat.  Adonan surabi dimasak tanpa menggunakan minyak. Prosesnya cukup secerhana, setelah adonan  dituang ke atas wajan kecil, kemudian lansung ditutup dengan tutupan yang juga terbuat dari tanah liat, lalu dibiarkan  beberapa menit sampai matang. Setelah matang, surabi ajan disajikan di atas piring kecil di tambahi dengan lumeran susu dan parutan keju, yang semakin menambah sempurna rasanya.

Harga surabi dikedai ini ditawarkan mulai dari Rp 4000 sampai Rp 10.000. Surabi yang paling mahal adalah surabi ayam telur keju special. Selain menyediakan menu aneka surabi, Mang Uban juga menyediakan menu lain, yaitu roti bakar duren yang juga terdiri dari berbagai varian rasa seperti roti bakar duren pisang, roti bakar duren coklat, roti bakar duren keju dan lain lain. Ada juga sop duren, yang varian rasanya bisa dipilih yaitu sop duren roti, sop duren buah, sop duren keju dan lain lain. Lalu ada pula cemilan ketan duren biasa dan ketan duren keju.




Kedai mang Uban buka dari siang sekitar jam satu dan tutup sekitar jam sepuluh malam. Bagi anda yang menghabiska akhir pekan dengan berkunjung ke Bogor atau Puncak memang terasa tidak lengkap tanpa mampir ke surabi mang Uban ini. Rasanya begitu pas makan surabi di tengah cuaca Puncak yang selalu dingin. Kini Mang Uban juga sudah  membuka cabang kedainya di Perumnas Tangerang. Jadi bagi yang tidak sempat ke Ciawi atau karena terlalu jauh. mungkin bisa mencoba aneka menu menggiurkan yang ada di kedai Surabi Mang Uban cabang Tangerang ini. (Ncop)

MOST RECENT