LELE MANGUT MBAH MARTO - YOGYAKARTA : Menyantap Langsung Dari Dapur Tradisional


Dari luar, tempat wisata kuliner yang satu ini sama sekali tidak mirip warung. Lokasinya pun berada di tengah perkampungan. Hanya spanduk bertuliskan Mangut Lele Mbah Marto di bagian depan saja yang menandakan bahwa rumah itu berfungsi sebagai warung. Selebihnya, di teras dan ruang tamu yang lantainya masih plesteran, tampak orang-orang memenuhi meja makan dan kursi-kursi kayu di sana sambil bercanda dengan keluarga masing-masing. Sementara, di samping rumah yang berlantai tanah, para pembeli juga sibuk menyantap nasi lele mangut di bangku kayu panjang. Maka, tak perlu sungkan seperti tamu di rumah yang amat sederhana milik Mbah Marto yang terletak di Dusun Ngireng-ireng, Saraban, Panggungharjo, Sewon, Bantul, ini. Begitu masuk ke pekarangan rumahnya yang berisi sumur, silahkan langsung menuju samping rumah dan terus masuk ke dapur.


Di situ anda bisa memesan menu legendaris di warung ini, yaitu nasi mangut lele yang disajikan bersama gudeg dan sambal goreng krecek. Ada pula garang asem ayam atau hati, opor ayam, dan sate kerang. Semua disajikan di atas lincak bambu yang lebar, anda tinggal mengambil sendiri yang diinginkan. Namun, jangan kaget bila mata langsung terasa perih ketika masuk ke dapur, bilamana tungku masih menyala. Semua menu di warung yang buka setiap hari pukul 10.00-16.00 ini memang dimasak dengan menggunakan tungku kayu bakar. Sebelum dibuat mangut, lele diasap terlebih dahulu agar tidak tengik dan aroma sedapnya keluar. Lalu, dibumbui antara lain bawang merah, bawang putih, kunci, cabai, dan santan kental.

Menurut Kasilah, anak bungsu Mbah Marto, ibunya itu mulai berjualan mangut lele sejak masih muda, tepatnya usia 20 tahun. Saat itu ibunya berkeliling kampung sambil menggendong tenggok berisi mangut lele, mulai jam 10.00. Waktu itu, jumlah mangut yang dijual belum bisa banyak karena berat membawanya. Baru sekitar 25-30 tahun kemudian, Mbah Marto tidak lagi berkeliling dan membuka warung di rumahnya. Para pelanggannya yang merasa kehilangan lalu mencari ke rumah. Kelezatan lele mangut Mbah Marto membuat makin banyak pembeli yang datang sejak saat itu.


Para pembeli juga berasal dari luar kota, termasuk Jakarta, Surabaya, bahkan tak sedikit bule yang datang. Pak Bondan Winarno dan Pak William Wongso pun juga sudah beberapa kali datang ke sini. Banyak juga selebritis yang datang seperti Guruh Soekarno Putra, Indro Warkop, dan Indie Barends. Sampai sekarang, rasa mangut lele Mbah Marto tidak pernah berubah. Kasilah kini yang dipercaya meneruskan usaha ini dibantu bibi dan kerabatnya. Bila beruntung, pengunjung juga bisa berkesempatan bertemu dengan Mbah Marto yang usianya telah sepuh. Meski sudah lanjut usia, Mbah Marto yang memiliki enam anak ini tetap ikut membantu berjualan, bahkan menjadi kasir. Ia juga selalu dengan ramah dan jenaka melayani para pelanggan yang ingin berpose dengannya. Pada hari biasa, lele yang dibutuhkan sekitar 25-30 kg, sedangkan pada hari libur bisa mencapai 40 kg per hari. Harga seporsi nasi mangut lele atau nasi garang asem Rp 20.000.
   


MANGUT LELE MBAH MARTO

Dusun Ngireng-ireng, Saraban, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, Indonesia
Phone: 089 623 047 222

BAKMI JAWA MBAH GITO - YOGYAKARTA : Sensasi Bersantap Di Kandang Sapi.


Di warung bakmi Jawa yang satu ini, anda bisa menemukan suasana berbeda. Nuansa kayu dan bambu terasa kental memenuhi seluruh interior warung, mulai dari meja, kursi, dinding, tiang penyangga, tangga, hingga lantai atas. Ya, meski terbilang sederhana, warung unik yang terbuat dari kandang sapi ini berlantai dua. Di dindingnya, tergantung berbagai peralatan dan peranti yang biasa dipakai pada zaman dulu. Sugito, pemilik warung Bakmi Jawa Mbah Gito menjelaskan, karena dirinya yang memang wong ndeso, maka semua produk ndeso sengaja ia tempelkan di warungnya, termasuk kandang sapi asli. Ini sekaligus untuk mengingatkannya bahwa dulu ia hidup dengan barang-barang tersebut. Meski lokasinya di Yogya kota, tepatnya di Jalan Nyi Ageng Nis, Peleman, Rejowinangun, tapi cukup mblusukkarena terletak di jalan kecil dan tersembunyi.

Pengunjung warung Bakmi Jawa Mbah Gito bukan hanya warga Yogya saja. Yang datang dari Jakarta bahkan lebih banyak, terutama saat hari libur, termasuk para artis dan menteri yang datang secara rombongan dalam satu bus. Gito menambahkan, Menteri Anies Baswedan bila pulang ke Yogyakarta pun biasanya menyempatkan mampir untuk makan di warungnya. Warung ini didirikan Gito pada Mei 2008. Namun, saat masih bujang ia sebetulnya sudah pernah berjualan bakmi Jawa di daerah Prawirotaman. Meski kembali berjualan di tempat yang sekarang, Gito menuturkan, pada 2011 sebetulnya ia nyaris menutup warungnya ini karena beratnya perjalanan bisnis yang harus dilaluinya selama tiga tahun pertama. Untuk membayar biaya operasional termasuk menggaji pegawai saja ia terpaksa nombok karena pemasukannya sangat sedikit. Terkadang, dalam sehari yang terjual hanya 10 porsi, itu pun bila sedang ramai.


Tak mau menyerah, Gito mencoba cara lain. Selain membenahi kualitas rasa, ia juga gencar melakukan promosi. Tak kurang dari walikota dan kepala kejaksaan setempat ia kirimi bakmi buatannya untuk memperkenalkan warungnya. Kebetulan, ia memang mengenal Herry Zudianto yang menjadi walikota Yogya saat itu. Ternyata beliau cocok, dan lantas mempromosikan bakmi buatan Gito ke orang lain. Dan Gito pun makin bangga sampai akhirnya kini hasil karyanya bisa dinikmati publik figur. Sekarang warung yang ia kelola secara tradisional ini semakin ramai. Tak hanya untuk bersantap, tapi sering pula dipakai untuk rapat atau acara lain. Bila sedang ramai, 10 ekor ayam bisa habis dalam sehari. Untuk pasokan ayam kampung, Gito mendatangkannya khusus dari daerah Wonosari, Gunungkidul yang memang dikenal sebagai daerah asal bakmi Jawa. Agar lebih lezat, ia juga menggunakan telur bebek untuk menunya.

Sementara untuk mi, Gito sengaja membuatnya sendiri. Selain menyediakan bakmi Jawa yang menjadi andalan, warung Gito yang digawangi 8 tukang masak ini juga menawarkan rica-rica ayam kampung dan capcay. Seporsi bakmi Jawa harganya Rp 17.000, rica-rica Rp 30.000, dan nasi goreng Rp 15.000. Sementara, teh dengan gula batu yang sengaja disajikan dalam poci untuk mempertahankan keaslian tradisi sejak Gito kecil dibanderol dengan harga Rp 5000. Menariknya, menjelang malam tiba, para pegawai termasuk pelayan akan berganti pakaian. Pegawai pria akan mengenakan surjan, sementara yang perempuan mengenakan kebaya. Gito ingin pembeli tahu bahwa suasana desa pada zaman dulu seperti itu. Oleh karena itu, biasanya setiap malam Minggu ia juga menggelar pagelaran karawitan. Ada pula wayang kulit untuk acara tertentu. Apa yang dilakukannya ini sebagai upaya untuk merawat budaya Jawa.

Suasana unik dan tradisional ditambah dengan citarasa yang lezat itulah yang membuat banyak turis mancanegara kembali datang ke warung Gito tiap kali berkunjung ke Yogya. Antara lain, wisman dari Amerika, Jepang, Hawaii, Suriname, dan Australia. Untuk mencicipi mi Jawa Mbah Gito, menurut pria asli Wonosari yang hanya bersekolah sampai SMP ini, warungnya siap melayani pembeli mulai pukul 11.00-23.00. Namun ia mengaku, tak mau ngoyo dalam berjualan. Kalau memang sudah waktunya tutup, ia pun akan menutup warungnya.


 BAKMI JAWA MBAH GITO
 Jl Nyi Ageng Nias No 9 Rejowinangun, YogyakartaIndonesia
085228408800

TENGKLENG GAJAH - YOGYAKARTA : Tengkleng Dengan Ukuran Porsi Besar


Tak sedikit yang mengira Hartono menyediakan tengkleng dari daging gajah ketika membaca spanduk di depan warungnya di Bulurejo, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Padahal, kata gajah hanya dipakai Hartono untuk menggambarkan besarnya ukuran tengkleng yang disajikan per porsinya. Ketika hendak memulai bisnisnya pada Februari 2007 silam, Hartono, yang memang penggemar tengkleng ini, berpikir harus ada perbedaan dari tengkleng yang dijual di tempat lainnya. Oleh karena itu, ia memutuskan memberi ciri khas berupa ukurannya yang super besar sehingga diibaratkan seperti gajah. Nama ini juga ia maksudkan untuk menarik minat anak-anak, karena biasanya menu tengkleng dan sate tidak mereka gemari. Pun, kalau ia hanya menulis tengkleng saja atau tengkleng jumbo, juga kurang menarik dan dianggap orang biasa saja. Sejak awal, Hartono memang sudah mengarah pada porsi yang besar dan daging yang menempel di tulang masih banyak.

Sebab, selama ini tengkleng yang banyak dijual orang, bahkan di Solo yang menjadi daerah asal Hartono, porsinya kurang mantap. Maka, Hartono mantap membuka warung tengkleng yang beda ini dengan modal Rp 60 juta. Ternyata, di kemudian hari, banyak orang mengira ia menjual daging gajah sungguhan. Sehingga, saat pertama warung dibuka, tak sedikit yang sudah masuk warung keluar lagi tanpa memesan. Namun, setelah tahu bahwa tengkleng gajah hanya sebuah nama untuk masakan berbahan dasar kambing, lambat laun banyak yang suka. Hartono mengaku ia tak punya banyak persiapan untuk membuka warungnya. Bisa dibilang ia cukup nekat karena tak berpikir lama ketika pertama kali memutuskan berjualan tengkleng.


Ia merekrut orang dan tidak harus pintar memasak. Ia cukup meminta memasak tengkleng sebisanya, lalu ia yang menilai. Setelah dijual, saran dari pembeli ia perhatikan sehingga akhirnya didapat resep yang benar-benar pas. Hartono pun banyak mengajak orang yang menganggur untuk ikut kerja padanya. Entah nanti usahanya menjadi seperti apa, yang penting orang itu tetap mau bekerja, hingga bisa terus mendapatkan uang. Awalnya warung Hartono hanya memiliki enam bangku.

Hartono bercerita, pada tahun-tahun sebelum membuka warung tengkleng, ia sering menjamu teman-temannya di rumah dengan menu sate saat Idul Adha. Bila mendapat kiriman daging kambing kurban 1-2 kg, ia akan membeli daging kambing lagi sebagai tambahan. Lalu daging itu ia campur dan potong kecil-kecil untuk dibuat sate. Jadi, satu orang bisa makan banyak sekali. Pria yang mengaku bahwa sebenarnya tak bisa memasak tengkleng, gulai, maupun tongseng kambing ini hanya mengolah daging kambing ala kadarnya dengan cara dicelup bumbu dan dibakar.


Rupanya, keseriusan Hartono dalam mengelola warung termasuk menyajikan tengkleng dalam porsi yang mantap membuat warungnya berkembang dalam waktu singkat. Pembeli tak henti-henti datang ke warungnya, sampai-sampai ia dan para pegawainya sempat kewalahan meski sudah menambah pegawai beberapa kali. Sayang, usaha Hartono sempat mendapat cobaan saat datangnya krisis moneter global pada 2009. Imbasnya, warungnya sepi. Kalau sebelumnya pukul 21.00 saja masih ramai, saat krismon terpaksa tutup pukul 16.00-17.00. Karena kalau dibuka sampai pukul 19.00, sudah tidak ada orang yang datang. Selama dua tahun Hartono mengalami kondisi seperti itu, sampai ia sempat berniat menutup warungnya. Meski gaji pegawai tak pernah telat dibayarkan, tapi pembayaran kambing sempat tersendat.

Namun, pria asal Purbalingga ini pun sangat bersyukur, sang istri yang seorang karyawati swasta sangat mendukung usahanya dan memintanya terus bertahan. Sang istri yakin kelak suatu saat nanti akan ada perubahan, meski saat itu Hartono sudah nyaris putus asa karena uang yang dimiliki makin minus. Padahal sebelumnya, Hartono sudah terlanjur melepas usaha barang rongsoknya agar bisa fokus di bisnis warung ini. Setiap malam, ia dan istrinya yang membantu pembukuan warung berdiskusi tentang warungnya untuk mendapatkan solusi terbaik. Dan benar kata istrinya, pada 2011 warungnya bangkit kembali, justru saat ia dan istrinya sudah pasrah. Sejak itu, warungnya makin laris dan terkenal, bahkan melebihi sebelumnya. Tak kurang dari para menteri ikut datang sebagai pembeli di warung yang kini memiliki 18 pegawai ini. Hartono menjelaskan, berapa pun uang yang harus dikeluarkan untuk memberikan kualitas terbaik untuk pembeli, akan ia lakukan. Jadi, bukan sekedar besarnya keuntungan yang ia cari.


Hartono sendiri sangat memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Selain gaji bulanan, pada tengah bulan biasanya ia juga membagikan uang, belum lagi bonus tambahan bila warungnya ramai. Ada lagi arisan pegawai yang uangnya diambil dari kas warung dan setiap bulan diundi. Kini, setiap hari Tengkleng Gajah menghabiskan 80 kg daging kambing dan 100 kg tulang untuk tengkleng. Saat hari libur, warung yang mampu menampung 150-an pengunjung ini menjual lebih banyak lagi tengkleng. Tengkleng, tongseng, dan sate goreng menjadi menu favorit di warung yang buka mulai pukul 09.00 sampai malam ini. Seporsi tengkleng gajah atau sate goreng harganya Rp 30.000. Kini, Hartono tengah menyiapkan cabang baru, karena banyak yang menyarankan untuk membuka warungnya di Jakarta.



Tengkleng Gajah Yogyakarta

Jalan Kaliurang Km. 9,3 Bulurejo, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 
Telp: (0274) 882512

MOST RECENT